delapan belas

61.4K 9.5K 209
                                    

sebelumnya maaf, kalo part ini agak aneh ya. aku usahain kedepannya gak ada lagi pembukaan pake acara maaf"an kyk gini

hope u enjoy!

•••••


"Omg, sorry lama."

Rea duduk di samping Bara dan berhadapan dengan Savita. Gadis itu mengamati posisi tempat duduk mereka berempat. Ia menatap Bara dengan badan di tarik ke samping dan kepala menoleh dimiringkan.

Buk

"Bar, lo tuker sama Savita," Rea memerintah setelah menepuk punggung Bara sedikit kencang dan menunjuk ke arah Savita dengan dagu.

"Gak usah nyuruh-nyuruh. Gue gak mau pindah, udah lengket," Savita menatap Rea nyalang dengan tangan menahan meja, memberitahu bahwa ia tidak bisa lepas dari posisinya saat ini.

"Ck, manja lo maemunah," Rea berdecak jengah pada Savita sebelum menatap Vanya. "Vanya~, tuker," Vanya menatap Rea dan wajah memohonnya yang memanggilnya dengan nada memanjang di akhir dengan kedua alis diangkat kemudian menggangguk, mengiyakan ajakan tukar tempat duduk dengan gadis itu. "Nah, gitu dong."

Rea berdiri, memutari meja. "Gak kayak lo!" tangannya menarik rambut Savita pelan ketika lewat di belakang gadis itu.

"Bacot," Rea terkekeh pelan mendengar umpatan yang keluar dari mulut Savita.

"Btw, udah pesen?" Rea menatap bergantian Bara dan Vanya dengan kedua alis terangkat.

"Udah kok. Tadi aku pesenin nasi goreng sama es jeruk kayak kemarin. Gapapa, kan?" Vanya menjawab Rea dengan raut wajah tidak enak. Takut jika Rea ataupun Savita tidak suka dengan yang ia pesan.

"Gapapa, kok. Mau lo pesenin salad sayur juga pasti dimakan sama Rea. Dia kan pemakan segala," Rea melotot ke arah Savita.

"Mulut lo minta disumpelin ya?" Rea meraih tisu gulung yang tersedia di depannya, menariknya hingga cukup panjang, meremat-rematnya dan memasukkannya ke dalam mulur Savita.

Savita menutup mulutnya rapat-rapat dan menarik kepalanya ke belakang agar terhindar dari sumpalan tisu di tangan Rea. Beberapa kali Savita juga mendorong tangan Rea, tapi gadis itu tampak tidak menyerah.

"Eh, udah udah. Nanti nangis lo," Rea dan Savita langsung berhenti kemudian menatap tidak percaya ke arah Vanya. "Kenapa?" tanya Vanya bingung karena ditatap seperti itu oleh kedua temannya.

"Buset, udah kayak emak gue aja lo Van," Rea tertawa diikuti Savita yang membenarkan perkataan Rea.

Kalimat Vanya tadi benar-benar seperti Ibunya ketika Savita kecil. Ingat sekali, dulu Savita selalu bertengkar saat bermain bersama kakaknya. Ibunya yang tahu selalu mengatakan kalimat yang sama. Tapi anehnya, itu benar saja terjadi. Setelah ia dan kakaknya bertengkar, pasti berakhir dengan ia yang menangis dan mengadu pada Ibunya.

Rea dulu juga merasakan hal yang sama ketika menjadi Arabella. Ia juga selalu bertengkar dengan Andre yang berakhir dengan ia yang menangis dan mengadu pada Ibunya. Ia dulu paling suka saat melihat kakaknya dimarahi.

Mengingat hal itu, membuat Rea jadi rindu pada kakaknya. Meski Andre sangat jahil dan tak jarang ia mengatakan bahwa ia membenci kakaknya itu, namun setelah lama tidak bertemu ia jadi sadar bahwa ia menyayangi kakaknya lebih dari apapun. Ia rindu kakaknya.

Rea tersenyum lebar. "Kalo lo mau nambah, nambah aja Van. Hari ini gue bayarin."

"Gue?" Rea menoleh ke arah Savita yang menunjuk dirinya sendiri.

Am I Antagonist? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang