empat puluh dua

16.2K 1.8K 43
                                    

"Kamu udah kasih tau Rea, Ma?"

Widya menoleh ke arah Agung sebentar, sembari masih sibuk memilih beberapa baju miliknya dan Agung sebelum memasukkannya ke dalam koper.

Mereka berdua akan pergi ke Malaysia untuk bertemu klien. Mereka akan menetap di negara tetangga itu selama kurang lebih lima hari.

"Oh, iya. Aku lupa, Mas," Widya sepenuhnya menoleh ke arah Agung yang tengah mengancingkan kancing kemeja berwarna abu-abu terangnya di depan cermin.

"Yaudah gapapa, nanti aja dikasih tau pas sarapan," Widya mengangguk kemudian melanjutkan kegiatannya, gerakan itu ditangkap Agung dari pantulan cermin.

"Aku gak sengaja lihat, kayaknya pacar Rea ganti ya, Ma?" Widya menoleh lagi, bibirnya ikutan tersenyum saat menangkap pantulan sang suami yang juga tersenyum.

"Iya kayaknya. Sama yang dulu udah lama putus," Agung mengangguk-angguk paham dengan bibir membentuk huruf 'o'.

"Aku sih berharapnya, Rea ngenalin pacarnya yang ini ke kita, Mas," Widya menoleh lagi sambil tersenyum lebar. Agung yang melihatnya ikutan tersenyum. Rasanya, baru kali ini mereka membahas perihal Rea dengan raut wajah sebahagia itu.

"Aku juga berharapnya gitu, Ma."

"Tapi, Mas ngerasa kalo Rea berubahnya cepet banget gak sih?" air muka Widya yang awalnya ceria berubah menjadi heran sembari menutup resleting koper yang telah penuh isinya. Wanita itu beralih duduk di ranjang dengan pandangan yang kini seluruhnya tertuju pada suaminya.

"Cepet banget gimana?"

"Gimana ya jelasinnya?" Agung berbalik, mendekat ke arah Widya yang menyodorkan sebuah gulungan dasi berwarna hitam dengan garis abu-abu gelap yang mengkilap dan mengambilnya. "Sebelum kita berangkat ke Singapore, Rea masih sama kayak dulu. Masih judes, jutek, dan gak peduli sama kita. Seminggu setelah di sana, pas kita pulang Rea udah jadi anak baik, yang lebih lembut, dan mau terbuka sama kita."

"Terus?" Agung melirik ke arah Widya melalui pantulan cermin.

"Ya, menurutku agak terlalu cepat aja sih. Dalam waktu satu minggu, Rea udah jadi pribadi yang beda di hadapan kita," Widya menatap Agung melalui cermin, wanita itu menangkap raut wajah bingung suaminya. "Bukannya gak bersyukur. Tapi aku agak ngerasa sedikit aneh aja sih, Mas."

"Lebih cepat ya lebih baik dong, Ma. Jadi suasana di rumah ini gak tegang melulu," Widya mengulum bibirnya. Sedikit kecewa karena Agung tidak bisa mengerti apa yang ia maksud.

Awalnya ia memang tidak pernah berpikiran aneh-aneh. Ia beranggapan bahwa Rea menjadi baik memang karena telah sadar akan sikapnya selama ini yang bisa dibilang cukup kurang ajar terhadap orang tuanya.

Namun, semenjak ia menemui Wijaya, ia jadi bertanya-tanya. Apakah benar apa yang dikatakan pria itu?

Apakah benar, Rea yang kini menjadi pribadi yang lebih baik dan sopan di depannya itu, bukanlah Rea anaknya?

Jika memang bukan, lantas siapa?

"Tapi, kemarin waktu aku ke Hanum nemuin Mas Wijaya, Mas Wijaya bilang kalau dia bukan Rea, Mas," Widya kembali buka suara dengan nada yang semakin lirih, tapi masih bisa ditangkap oleh telinga Agung. Pria itu berbalik setelah menyelesaikan memasang dasinya. Ia menatap sang istri dengan raut bingung.

"Maksudnya?" Widya menggeleng pelan.

"Aku juga gak tau apa maksudnya, Mas. Makanya aku kepikiran gara-gara sikap Rea yang berubah baik dalam kurun waktu seminggu itu," Agung mendekat ke arah Widya, mengelus kepala wanita itu dengan sayang.

"Udah, gak usah dipikirin. Mungkin, Wijaya halusinasi karena efek obat penenangnya. Jadi, dia bilang kayak gitu ke kamu," Widya mendongak, menatap Agung dengan tatapan sendu sembari mengangguk pelan.

Am I Antagonist? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang