Tiga Puluh Delapan

24.3K 3.3K 90
                                    

Rea berjalan menuju mobil hitam yang telah berhenti di depan rumahnya setelah menutup pintu rumahnya. Raut wajahnya sedikit kusut karena rasa pening di kepalanya akibat mimpi yang terasa sangat nyata itu masih tersisa.

"Pagi," suara lembut Bara langsung terdengar saat Rea sudah duduk di kursi penumpang. Gadis itu menoleh ke arah Bara sebentar sambil menutup kembali pintu mobilnya dan memposisikan duduknya agar nyaman.

"Pagi juga," balas Rea seadanya tanpa melirik sedikitpun ke arah Bara. Gadis itu sibuk membenarkan letak jam tangannya yang sedikit miring.

Bara mengerutkan keningnya bingung melihat tingkah Rea yang lebih dingin. Ia akan merasa lebih baik jika gadis itu mengomel panjang lebar dan memaki-makinya karena hal tidak jelas dibanding menjawab seadanya seperti saat ini.

"Lo marah ya gara-gara gak gue bukain pintu?" Bara menatap Rea dengan seksama, menunggu jawaban gadis itu.

Rea yang merasa aneh dengan pertanyaan Bara menatap cowok itu dengan kening berkerut heran.

"Enggak tuh. Ngapain juga coba?" jawab Rea dengan nada heran sambil mengecek ke dalam tasnya, jaga-jaga apabila ada barangnya yang tertinggal. Jadi ia bisa mengambilnya terlebih dahulu sebelum benar-benar berangkat.

"Terus kenapa kok lo kayak gak mood gitu?" tanya Bara sambil menatap gadis itu penasaran.

"Gak ada apa-apa kok. Kepala gue cuma pusing aja," balas Rea sambil mengeluarkan sebuah cermin kecil yang selalu dibawa ke sekolah kemudian menaruh tasnya ketika sudah ia resletingkan kembali dan yakin bahwa tidak ada barangnya yang tertinggal.

"Kok bisa? Pusing kenapa? Demam ya?" Bara menatap Rea mengamati, memastikan bahwa wajah gadis itu tidak pucat. Tangan kanannya yang semula menganggur kini terangkat dan beralih memegang kening gadis itu, mengecek apakah gadis itu demam atau tidak.

Rea yang sedikit kaget langsung refleks menarik kepalanya menjauh supaya tangan Bara tidak bisa menyentuh keningnya. Alis gadis itu mengerut, ia menatap kesal ke arah Bara.

"Ck, diem dulu!" Bara berdecak sambil menarik kepala Rea dengan tangan kirinya, memaksa gadis itu sedikit mendekat agar memudahkannya untuk mengecek suhu tubuh gadis itu dengan tangan kanannya.

"Ngapain sih?" tanya Rea dengan kesal sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Huss, diem. Kepala lo katanya pusing," Bara langsung memegang kepala Rea dengan lebih kencang agar gadis itu berhenti menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia takut itu akan membuat rasa pusing gadis itu makin parah.

Pada akhirnya Rea menurut dengan berhenti menggeleng dan membiarkan tangan Bara bertengger di keningnya, sesekali Bara membolak-balikkan tangannya dengan raut wajah berkerut bingung.

"Enggak panas tuh."

"Gue emang gak demam," sahutnya sembari menepis pelan tangan Bara yang masih di keningnya, kini ia beralih berkaca ke cermin yang tadi sempat menganggur di pangkuannya sebentar.

"Ohh, kirain. Emang kena apa sih?" tanya Bara penasaran, cowok itu masih terus menatap Rea menunggu jawaban dari gadis yang sibuk berkaca itu.

"Jangan ketawa ya?" tanya Rea dengan nada mengancam sambil melirik ke arah cowok itu sekilas. Bara yang kelewat penasaran langsung mengangguk sebagai jawabannya.

"Gue mimpi kepentok meja. Eh pusingnya kebawa sampe bangun," lanjut gadis itu santai tanpa melirik ke arah Bara.

"Hah?" Tanpa bisa dihentikan, Bara tertawa renyah setelah sempat kebingungan beberapa detik untuk mencerna kalimat Rea terlebih dahulu. Meski bukan hal yang tidak mungkin, tapi entah kenapa alasan yang dilontarkan Rea terdengar sangat lucu baginya.

Am I Antagonist? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang