ichi ; pertemuan pertama

515 193 565
                                    

1944-

Dor!

Suara senapan menggema di hampir setiap sisi di desa itu, seakan kicauan burung yang biasa di dengar, penduduk desa itu sudah putus asa dan tidak bisa berontak. Meski ada beberapa pemuda pejuang yang dengan gamblang melawan, meski mereka tahu seperti apa kematian mereka.

1944 adalah tahun dimana Indonesia masih diduduki oleh Jepang, tepat dua tahun sejak 11 Januari 1942 saat Jepang pertama kali mendarat di Tarakan, Kalimantan Timur. (Sekarang menjadi wilayah Kalimantan Utara)

Siapa yang tidak tahu kebengisan kependudukan Jepang di Indonesia? Tak lama setelah menduduki Banten, makanan, obat-obatan, pakaian, dan barang kebutuhan lainnya menghilang dari pasar. Adanya romusha, bukan hanya kerja paksa, mereka memaksa rakyat Indonesia terutama para petani untuk terjun ke medan perang hingga membangun berbagai benteng dan penjara.

Penjara yang dibangun juga jauh dari kata kemanusiaan, selain dibiarkan mati kelaparan, beberapa dari tahanan yaitu warga pribumi disiksa dan dijadikan kelinci percobaan yang saat itu juga berlangsungnya perang dunia kedua.

Dan kekejian lainnya terlihat dari bagaimana mereka menilai nyawa manusia, jika ada yang melawan tentulah peluru melayang menembus bagian tubuh dari manusia itu yang pastinya mengakibatkan hilangnya nyawa, juga hampir semua gadis yang mereka temui langsung mereka perkosa dan dijadikan budak napsu.

Hah ... sangat sial.

Itu yang membuat gadis desa bernama Jenar merutuki nasib yang menimpanya sekarang. Hidup dijaman ini adalah neraka yang sebenar-benarnya. Dibandingkan jaman Belanda, jaman ini jauh dari kata baik-baik saja.

Tapi Jenar bersyukur, dia masih bisa menjaga diri atau mungkin ... beruntung? Hingga sekarang dia masih 'gadis', tak ada siksaan fisik baginya dan keluarga kecilnya, tapi meski begitu Jenar pernah berucap ...

'Lebih baik aku mati bunuh diri daripada menjadi budak napsu para bajingan itu!'

Jenar bukanlah gadis yang kuat, bahkan ada di saat dia ingin mengakhiri hidupnya karena tidak kuat melihat warga desa maupun teman-temannya disiksa dan dibunuh. Tapi melihat ibunya yang sakit-sakitan dan adik perempuannya yang masih kecil, membuatnya tersadar akan tanggungjawab, dia adalah tulang punggung keluarganya. Jika dia tiada, janji yang pernah dia ikrarkan kepada mendiang ayah juga akan teringkari.

Jenar baru tiba di rumah dari mencari kayu bakar, dia meletakkan kayu bakar itu di sebuah kotak agar jika hujan airnya tidak merembes membasahi kayu yang sudah dengan jerih keringat dia kumpulkan.

"Sudah pulang, nduk?" (Panggilan anak perempuan dalam bahasa Jawa)

Jenar tersadar, dia lantas menoleh melihat ibunya menghampiri sambil memegangi dadanya.

"Ibuk!" Dia menghampiri dan menuntun ibunya untuk duduk.

"Jenar kan sudah bilang buk kalau Jenar lagi nggak ada dirumah, ibuk minta tolong saja pada Sri kalau butuh apa-apa," ucapnya seraya memberikan segelas air.

Ibunya tersenyum sembari menerimanya. "Ibuk masih kuat, kok. Adikmu juga sepertinya lagi sibuk di kamarnya."

"Apa dia masih berkutat dengan buku? Sudah berapa kali Jenar bilang kalau-"

"Sshh sudahlah, biarkan saja."

Jenar memalingkan wajahnya jengah.

Ibunya tersenyum gemas. "Ibuk nggak ngerti sama kamu, adiknya belajar biar pintar malah dimarahi."

"Untuk apa lagi belajar di jaman ini, buk? Lebih baik memikirkan besok masih hidup atau tidak!"

Ibunya tidak marah sama sekali dengan sifat Jenar yang seperti ini, karena sifatnya itulah satu-satunya yang mengingatkannya dengan mendiang suaminya, kemudian hanya senyuman yang dia lontarkan.

Camellia [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang