nijuuni ; afeksi sederhana

124 60 209
                                    

Jenar memutar saluran radio malam ini di tepi jendelanya, sebuah saluran yang menjadi favorit nya akhir-akhir ini. Saat masih di desa dan masa kolonial Belanda, dia suka mendengarkan radio di rumah ketua RT bersama teman-temannya.

Mengetahui bahwa Setyo memiliki radio di rumahnya, dia pun meminjamnya. Sudah beberapa bulan terakhir ini dia rajin mendengarkan saluran yang disiarkan tepat pukul sembilan malam itu.

"Ah ketemu! Syukurlah nggak terlambat!" Pekiknya senang.

Dia mulai berpangku dagu memandang suasana malam sembari mendengarkan pembukaan segmen yang dia perdengarkan.

Dari jauh sepasang bola mata memandang, terpaut erat seakan terjerat tanpa niat ingin melepas. Setyo memandangi Jenar yang sesekali tertawa mendengar lawakan dari radio.

Dengan langkah spektikal dia menghampiri pavilion Jenar, Jenar yang terusik dengan suara langkah kaki yang mendekat pun menoleh kemudian tersenyum.

"Baru pulang, mas?"

Setyo mengangguk begitu dia sudah tiba di depan jendela Jenar, dia duduk di sebuah kursi panjang di sana.

Jenar tersenyum. "Sepi ya mas sendirian di rumah?" Godanya.

"Iya, kamunya udah nggak ada di sana."

"Makanya mas cepet cari istri biar nggak kesepian lagi hihi," godanya lagi.

Setyo hanya menarik tipis ujung bibirnya. "Apa yang kamu dengar?"

"Oh ini, NIROM. Ada segmen yang Jenar suka, mulainya setiap jam sembilan malam."

NIROM; Nederlandsch Indische Radio Omroep Masstchapyj

"Oh, saluran radio sejak jaman Belanda, ya?"

"Iya, semua orang pasti tau."

Setyo meniti sejenak wajah Jenar, jujur dia tidak yakin apakah Jenar masih setia menunggu Yutaka atau tidak, ini sudah hampir setahun berlalu, dia juga sudah tidak pernah melihat Jenar menangis merindukan suaminya.

'Apa dia sudah merelakan perginya Yutaka?' hatinya bergumam.

"Mas udah makan malam? Tadi Jenar bikinin makan di dapur."

Pertanyaan Jenar membuyarkan lamunannya.

"Jangankan makan, mandi saja belum."

Jawaban itu sukses mendapatkan kekehan kecil dari Jenar. "Jangan suka mandi malam mas, nanti kena reumatik."

"Iya, ngomong-ngomong gimana kandungan kamu?"

"Baik, sangat baik mas," jawab Jenar mengusap perutnya.

"Tanya aja, nih. Kamu ingin anak laki-laki atau perempuan?"

Jenar tersenyum kecil. "Sebenernya Jenar nggak pernah mikir ingin punya anak laki-laki atau perempuan, bagi Jenr sama saja yang penting dia lahir dalam keadaan sehat."

"Apa kamu udah siapkan nama untuk dia?"

Jenar menggeleng canggung. "Belum."

Camellia [✓]Where stories live. Discover now