nijuuyon ; kebenaran yang tepergok

114 55 157
                                    

Setyo tertegun tidak menemui Jenar di kamar, dia mencari ke sana ke mari sampai dia melihat Jenar duduk bersama ibunya.

"Jadi—"

"Jenar!" Panggil Setyo cepat.

Keduanya sontak menoleh, melihat Setyo yang berjalan mendekat. Jenar gelagapan, belum sempat dia mengatakan maksudnya justru Setyo sudah menemukannya.

"Kirain kemana, taunya lagi bareng ibuk."

Rumi tertawa kecil. "Nggak usah khawatir gitu, kalaupun dia nggak ada di kamar paling di sekitar rumah aja, kan?"

Setyo mengamati posisi duduk Jenar yang tidak nyaman, dia jadi berpikir mungkin ada sesuatu yang dia sembunyikan.

"Oh iya, tadi apa yang mau nak Jenar bicarakan?"

'Sudah kuduga, dia pasti mau memberitahu kesalahpahaman itu,' batin Setyo.

"Uhm ... I-itu—"

"Oh itu ya, dek?" Potong Setyo cepat seolah mengambil alih pembicaraan keduanya.

"Itu apa?" Tanya Rumi kebingungan.

"Itu buk, Jenar mau nanya gimana soal persalinan dia nanti, apakah di puskesmas atau dukun bayi aja, soalnya dia masih bingung karena ini kehamilan pertama," dusta Setyo. "Bener kan, dek?" Tanyanya mengangkat sebelah alisnya menatap Jenar.

Jenar tahu Setyo berbohong.

"Oh begitu, kalau kata ibuk sih kamu persalinan di puskesmas aja, soalnya alat-alat nya kan lebih lengkap."

"Nah dengar kan, dek? Jadi jangan pusing mikirinnya."

Jenar menggeleng pelan.

"Kalau gitu buk, kami mau pergi keluar jalan-jalan dulu." Setyo meminta ijin membawa Jenar bersamanya.

Sesampainya di mobil yang terparkir, Jenar memberontak minta dilepaskan. Setyo tahu Jenar sedang kesal, dia kemudian menutup pintu begitu Jenar masuk dan disusul dirinya sendiri.

Dia membawa Jenar keluar dari kompleks elit itu dengan mobilnya, sejak tadi Jenar memilih bungkam, dia melipat tangannya di dada dengan wajah menekuk.

Setyo juga belum ingin membuka suara, sampai mereka tiba di sebuah kanal dengan aliran air yang tenang. Setyo turun dari mobil, dia melirik Jenar yang masih diam di dalam, kemudian membukakan pintunya.

"Nggak mau keluar?"

Jenar mengalihkan wajahnya ke arah lain. Setyo menghela pelan napasnya.

"Kalau ada yang ingin kamu bicarakan, keluarlah."

Setelah mengatakannya, Setyo beralih duduk di pinggir kanal tanpa alas, dia menatap jauh ke gedung-gedung di depannya.

Beberapa saat berlalu, Jenar akhirnya jengah juga. Dia kemudian keluar dan menyusul Setyo duduk di sana.

Jenar memandang sejenak wajah Setyo dari samping kemudian ikut menatap gedung-gedung di depan mereka.

"Apa benar tadi kamu mau bicara tentang hubungan kita yang sebenarnya?" Tanya Setyo membuka suara.

"Iya," jawab Jenar mantap.

Setyo menoleh. "Kamu seharusnya nurut kata aku, aku bilang gitu bukan untuk meng-iyakan apa yang mereka kira, cuman belum—"

"Belum saatnya? Mau sampai kapan, mas? Sampai anak Jenar lahir?" Pangkas Jenar sembari ikut menoleh. "Harusnya mas juga mikir gimana perasaan Jenar, wanita hamil yang justru dianggap istri pemuda lain. Jenar mana bisa nerima itu, mas pun tau Jenar masih menunggu Yutaka."

Camellia [✓]Where stories live. Discover now