nijuunana ; kembalinya yang di nanti

107 50 183
                                    

4 tahun kemudian— 1950

Di sebuah kampung yang asri dan hijau, terlihat suatu kesibukan di pagi yang cerah ini. Tampak seorang wanita sibuk di dapur dengan beberapa sayuran yang tengah dia potong.

"Mbak, aku mau berangkat dulu," ucap seorang gadis.

"Oh udah mau berangkat? Sini duduk dulu, Sri. Sarapannya sudah hampir siap."

"Nggak usah mbak Jenar, ini udah terlambat banget," ucap gadis bernama Sri sambil menenteng sepatunya.

Yups. Wanita yang sibuk di dapur itu tak lain adalah Jenar.

Jenar geleng-geleng kepala, dia menyusul Sri yang sudah berjalan keluar dengan segelas susu di tangannya.

"Senggaknya minum susu dulu, nanti selesai sekolah langsung cepet pulang buat makan."

Sri tidak menjawab, dia sibuk meneguk segelas susu itu hingga tandas.

"Udah nih, mbak." Dia memberikan gelas kosong itu kepada Jenar.

"Udah pamit sama ibuk, kan?"

"Udah udah."

Jenar tersenyum kecil memandangi adiknya yang begitu semangat bersekolah. Dia jadi ingat dahulu dia paling tidak suka melihat adiknya belajar, sekarang dia menyesal karena tidak mendukung adiknya sejak dulu.

"Oh astaga! Sayurnya!" Dia memekik kaget mengingat sayur yang dia masak di atas kompor.

"Oh syukurlah belum habis kuahnya," gumam Jenar sambil mengaduk-aduk sayurnya.

Selesai memasak, dia meletakkannya di wadah yang lain di atas meja kemudian menghampiri ibunya untuk sarapan.

"Ibuk, ayo sarapan dulu," ajaknya.

"Oh iya." Inggit bangkit dari duduknya.

Jenar beralih ke kamarnya, mengecek apakah anak lelakinya itu sudah bangun atau belum. Begitu membuka pintu, dia tertawa kecil melihat posisi tidur anaknya yang lucu.

"Ah tidurku nggak pernah aneh-aneh kayak gini, pasti nurun bapaknya," gumam Jenar sambil tertawa kecil.

Jenar duduk di sisi anaknya sambil menggoyang-goyang pelan lengan anaknya.

"Haraki ..." Panggilnya lembut.

"Mmhh?"

"Bangun, le. Udah siang ini hei."

"Mmhh mmm mmhhh ..."

Jenar mengerling begitu mendapatkan ide. "Yaudah ibuk mau ke pasar sama busu Dahen dulu ya, naik motor ngueng ngueng ngueng."  (Busu: paman—kutai)

Haraki perlahan membuka matanya. "Aaaa ittuutt," rengeknya dengan kedua tangan mengudara.

Haraki. Itu adalah nama yang Jenar berikan kepada anak lelakinya. Hanya Haraki, tanpa embel-embel apapun, sengaja, agar embel-embel itu biar sang ayah saja yang memberikan.

Ah soal ayahnya ... jangan heran, pun sampai detik ini Jenar masih berharap dan menunggu Yutaka kembali dalam penantian yang sungguh panjang ini.

"Ayo bangun bangun, busu bentar lagi kesini!" Ajak Jenar semangat. Dia tahu anaknya itu sangat suka diajak naik motor.

Haraki dengan berat pun bangkit dibantu oleh ibunya, Jenar sekalian memandikan Haraki pagi itu. Setelah itu mengajak anaknya yang berusia empat tahun itu untuk makan.

 Setelah itu mengajak anaknya yang berusia empat tahun itu untuk makan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Camellia [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang