yonjuuyon ; pengkhianatan yang manis [end]

193 39 148
                                    

Jenar mengerjapkan matanya pelan, korneanya membiaskan cahaya hangat sang mentari yang menyapa dari balik rimbun pepohonan untuk masuk ke mata. Dia terduduk dan mengamati sekelilingnya.

Udara segar menyambut setiap helaan napasnya, tangannya mengusap lembut tempat dia berbaring yang terdiri dari banyak bunga serupa.

"Bunga Camelia?" Tanyanya pada dirinya sendiri.

Perlahan dia bangkit dan mulai berjalan dengan hati-hati, kicauan burung satu-satunya melodi yang mengiringi setiap langkahnya, dan itu membuatnya hanyut dalam kesenangan. Dia tak segan-segan untuk tersenyum dan tertawa sambil menari, dia begitu menikmati bagaimana kaki telanjangnya menyentuh rerumputan yang lembab karena embun, pun kupu-kupu jenis Rhodostrophia vibicaria mendominasi langkah demi langkah yang dia pijak.

Tak jauh dari tempatnya menari, dia melihat siluet seseorang yang membelakanginya. Tariannya terhenti, dengan ragu dan penasaran dia mendekat dengan langkah spektikal.

Tanpa di sangka-sangka orang itu berbalik, Jenar tersentak hebat.

"Bapak?!" Pekiknya.

Dia langsung menubruk sang ayah dengan pelukan yang begitu erat. Joko—ayah Jenar— tak kalah erat memeluk putri sulungnya.

Jenar merenggangkan pelukannya. "Bapak! Jenar kangen banget sama bapak! Jenar seneng bisa ketemu bapak disaat Jenar nggak yakin."

Joko tersenyum sembari menyelipkan rambut sang anak ke belakang telinga. "Bapak juga kangen kamu, nduk."

"Bapak, bapak ikut Jenar yuk? Ibuk sama Sri pasti sama senengnya kayak Jenar sekarang kalau ketemu bapak."

Joko hanya tersenyum melihat ekspresi anaknya yang terlihat sangat bersemangat.

"Bapak? Kok malah senyum-senyum aja sih, bapak ikut Jenar ya?"

Joko menggeleng pelan. "Bapak nggak bisa pergi kemana-mana, nduk."

Wajah Jenar berubah sedih. "Apa maksud bapak?"

"Bapak sudah tinggal disini untuk selamanya."

Jenar tampak berpikir sampai kemudian berubah sumringah. "Kalau gitu Jenar juga pengen tinggal disini sama bapak."

"Oh ndak bisa ..."

"Loh kenapa?"

"Belum waktunya, nduk. Kamu ndak ingat kalau masih punya suami sama anak?"

Jenar terkejut, dia seketika teringat. "Oh iya ... tapi darimana bapak tau?"

Joko tersenyum hangat. Dia menuntun anaknya untuk berjalan bersama. "Bapak tau semuanya tentang kamu."

Jenar berbalik badan, menolak untuk terus berjalan. "Kalau begitu apa yang harus Jenar lakukan kalau nggak boleh tinggal disini?"

"Kamu harus bangun, nduk."

"Bangun?"

Joko tidak pernah sekalipun mengendurkan senyumnya. "Mau bapak bantu bangun?"

Jenar tampak berpikir. "Mau, tapi sebelum itu boleh Jenar tanya sesuatu?"

Joko mengangguk.

"Bayi siapa yang bapak gendong dari tadi ini?" Tunjuknya pada bayi yang dibalut dengan kain lembut dan hangat.

"Ini cucu bapak."

"Cucu?"

"Cucu?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Camellia [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang