roku ; ego

217 125 406
                                    

Kicauan burung adalah satu-satunya pengisi keheningan diantara mereka berdua selain derap langkah yang bergesekan dengan rumput dan dedaunan. Tidak membutuhkan waktu lama dari tempat kejadian digigit ular, mereka tiba di pinggir sungai.

"Ah akhirnya ketemu sungai juga," gumam Jenar kemudian berjongkok di bibir sungai sembari ingin menangkup air untuk diminum.

"Jangan diminum!" Ucap Yutaka.

"Apa? Kenapa?"

Yutaka tidak menjawab, digantikan oleh pandangannya ke sebuah titik, membuat Jenar ikut menoleh.

Matanya kemudian melotot, tak menyangka bahwa ada beberapa mayat yang mengambang di air dan tersangkut di bebatuan.

"Astaga ..."

"Sebaiknya jangan minum air di sungai dulu," ucap Yutaka.

Jenar merengut, lebih kepada kesal dengan keadaan, dia sangat haus sekarang.

"Minum ini saja." Yutaka menyodorkan kempis-nya yang masih penuh.

"Nggak apa-apa?"

Yutaka mengangguk, pun Jenar menerimanya dan meminumnya tanpa sungkan.

"Apakah masih jauh?"

Jenar menimang-nimang. "Nggak juga, di ujung sana kita akan berbelok ke kanan."

Yutaka mengangguk-angguk. "Kalau ada mayat disini, mungkin saja di depan sana ada mereka."

"Tapi mayat itu sudah membengkak dan membusuk, mereka mati beberapa hari yang lalu," komentar Jenar.

"Kamu benar, kita harus tetap waspada." Dia menatap Jenar dibawahnya yang masih berjongkok. "Dan kamu harus tetap di dekatku."

Jenar tidak yakin sejak kapan semua ucapan Yutaka terdengar begitu manis di telinganya. Dan itu membuatnya kesulitan bernapas karena detak jantungnya yang dipercepat.

Jenar menepis pikiran anehnya, beralih berdiri kemudian mengembalikan kempis itu kepada pemiliknya.

"Ayo lanjutkan perjalanan."

Mereka melanjutkan perjalanan dengan Jenar yang berjalan lebih dulu, sementara Yutaka berjalan di belakangnya sambil memperhatikan keadaan sekitar.

Mereka sudah hampir tiba di tempat tujuan, dan Jenar bersyukur karena dia tidak lagi menemukan halangan seperti prajurit Jepang, yah selain yang sedang bersamanya.

Senyum Jenar melebar sempurna, melihat orang yang begitu dia rindukan duduk di teras rumah yang dimaksud. Jenar berlari sambil memanggil namanya.

"Sekar!"

Perempuan di sana menoleh. "Jenar!" Dia bangkit dan ikut berlari menghampiri.

Jenar dan Sekar saling berpelukan, meluapkan segala kerinduan yang mereka pendam selama beberapa bulan.

"Sekar, aku kangen banget sama kamu!" Pekik Jenar senang.

"Aku juga, Jenar! Aku kangen bang—"

Grep.

Sekar langsung melepaskan pelukannya tanpa mengalihkan matanya dari sosok yang berdiri di belakang Jenar, tatapan matanya berubah panik. Jenar mengernyit heran, tapi kemudian dia paham.

"Prajurit Jepang? A-apa yang dia lakukan disini?!" Pekik Sekar.

Jenar menggigit bibirnya, bingung harus menjelaskan seperti apa.

"Sebentar, kamu kesini sendirian kan Jenar? Apa kamu bertemu dengannya di jalan? Kenapa dia—"

"Tenang, Sekar. Nggak apa-apa."

Camellia [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang