48. bagaimana caranya bahagia

52 12 2
                                    

Sekitar pukul sepuluh pagi, semua orang sudah terlihat berkumpul di kediaman Sugawara. Dengan pakaian hitam khas orang melayat, mereka mengucapkan turut berbelasungkawa atas kepergian sang adik yang meskipun mereka belum tau siapa dia. Pasalnya ayah Suga sangat tertutup dan tidak banyak berinteraksi dengan para tetangganya. Terlebih pekerjaannya yang selalu mengharuskan dia jarang di rumah dalam waktu yang cukup lama. Rumah tiga tingkat itu hampir dipenuhi dengan orang-orang yang datang melayat. Mulai dari kolega bisnisnya, sampai bawahannya pun ikut datang hanya untuk sekedar mengucapkan turut berduka cita.

Sementara itu, seseorang yang ditinggalkan selamanya itu tengah duduk termenung di depan tubuh sang ibu yang terbujur kaku. Ditutupi sehelai kain putih dari atas sampai bawah. Air mata bahkan nggak lagi keluar saking tersayatnya hatinya. Tatapan kosong itu terlalu menyakitkan untuk Suga yang sedari tadi ada di samping Semi. Suga memang tak tau rasanya, tapi jika melihat Semi terpuruk sampai seperti ini, rasanya Suga tak ingin kehilangan siapapun. Biarkan Suga jadi orang yang egois dengan ingin memiliki segalanya.

Pukul setengah sebelas tepat, jenazah ibu Semi sudah siap dikebumikan. Rombongan pelayat pun ikut mengantarkan jenazah ke rumah terakhirnya untuk selamanya. Batu nisan bertuliskan namanya pun tak tertinggal, dan bunga-bunga segar di keranjang masing-masing. Layaknya orang yang berduka, sesegukan pun sesekali terdengar walau Semi tak yakin milik siapa suara itu, tapi itu makin membuatnya ingin ikut menangis juga. Padahal kali ini dia ingin menangis dengan keras tanpa mempedulikan sekitarnya, tapi bahkan setetes pun tak ada yang keluar.

"Sug beneran gw nggak boleh nyusul mama?" Tanya Semi masih dengan tatapan kosongnya, memandangi tubuh ibunya yang perlahan tak terlihat ditimpa tanah. Ingin rasanya Semi ikut berbaring di sana, tak meninggalkan sang ibu sendirian di tempat gelap dan sempit itu. Semi nggak mau ditinggal ibu.

"Boleh aja asal udah waktunya," jawab Suga dengan ekspresi yang dia tunjukkan sedatar mungkin. Walau tak elak hatinya mencelos kala mendengar pertanyaan Semi. Air matanya ingin merangkak keluar lagi, tapi sekuat mungkin dia tahan.

"Emang kapan waktunya?" Suga menoleh kearah Semi yang memandang gundukan tanah yang dibawahnya ada tubuh sang ibu. Semi terlihat kacau, bahkan lebih kacau daripada Suga beberapa hari lalu. Saat ini Suga berhasil melewati traumanya dengan perlahan, dan itu semua berkat Semi, yang selalu meyakinkannya bahwa nggak semua laki-laki seperti laki-laki bejat itu. Sebagai contoh ayah Suga sendiri. Ayah Suga laki-laki yang bertanggung jawab, mengayomi istri dan anaknya dengan baik, memberi kasih sayang yang besar kepada keduanya, bahkan Semi pun merasakan kasih sayang itu. Dua minggu berlalu dan Suga mulai menerima kehadiran laki-laki lagi, selagi mereka masih menjaga batas jarak dengannya.

Suga menghembuskan nafasnya yang sesak sembari terus mencoba menahan buliran air yang siap kapan saja untuk jatuh. "Gw nggak mau ngulangin lagi yang gw bilang tadi pagi. Sekarang lu diem dan ikutin aja arusnya," kata Suga penuh tekanan. Suga mencoba keras pada Semi dan dirinya sendiri, padahal sesak di dadanya tak memberi ruang hanya untuk sekedar bernafas. Melihat Semi yang tak berdaya seperti ini selalu membuat Suga merasa bersalah. Kenapa mereka berdua harus berada dalam kondisi yang berkebalikan. Seakan takdir suka sekali bercanda dengan seorang Semi.

Pemakaman selesai, doa-doa sudah selesai dibacakan untuk mendiang supaya tenang di alam yang baru. Tersisa keluarga berduka yang ada di pemakaman sekarang. Semua pelayat mengundurkan diri sejak beberapa menit yang lalu. Mendung mulai menghiasi langit, seakan tau ada seseorang yang tangisnya harus ditutupi.

"Hiks .... Sug, gw ... gw nggak mau lagi .... Hiks .... Kenapa buruk ... buruk banget sih takdir gw ... hiks ..." Tangis Semi pecah kala tak ada lagi orang lain di sana. Ternyata bukan karena tak bisa, Semi hanya tak mau menangis di hadapan orang banyak. Semi tak ingin memperlihatkan sisi lemahnya kepada orang yang bahkan tak tahu menahu tentang dirinya. Yang bahkan orang terdekatnya pun belum tentu tau semua hal tentang Semi.

Garis TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang