61. Ayah

54 8 0
                                    

Dua hari berlalu, sejak malam itu sampai sekarang Semi belum berbicara langsung dengan Ushijima. Bukan marah, lebih tepatnya Semi malu. Semi malu jika harus menunjukkan wajahnya pada anak yang ternyata pernah dia selamatkan dulu. Pada anak yang dikatai-nya gila karena ingin mati, padahal saat itu Semi juga ingin mati.

Sekarang Ushijima mengetahui segalanya tentang Semi, tapi Semi belum tau apapun soal Ushijima. Semi merasa malu karena itu juga. Menjadi orang yang tak peka memang sangat menyebalkan.

Sore ini langit terlihat redup, padahal matahari masih terlihat dan belum menyembunyikan dirinya. Senja yang biasanya cerah terlihat sedikit kusam, ditambah angin yang berhembus sangat kuat, membuat Semi betah di teras rumah. Menyaksikan bagaimana awan bertarung dengan angin yang meniupnya untuk bergerak. Semi menikmati setiap embusan angin kuat itu mengenai tubuhnya yang dibalut hoodie krem kesukaannya dan celana training yang sedikit kebesaran.

Ditemani gitar kesayangannya, Semi mulai memetik senar senar yang berjejer membentuk nada yang indah. Semi menuliskan nada yang baru saja dia buat ke buku tipis bersampul hijau itu dengan teliti. Ya, Semi berusaha membuat lagu sekarang ini. Sudah beberapa nada terkumpul sejak dua hari lalu, dan Semi yakin sore ini akan selesai.

Akan selesai jika saja Suga tidak datang dan mengganggunya. Jika Suga datang dengan tenang mungkin masih bisa Semi abaikan, tapi kakaknya itu datang dengan membawa sepiring bakwan dan satu teko penuh es jeruk peras. Semi jelas tidak bisa menolak pesona makanan berminyak itu.

Mengabaikan gitarnya sementara, Semi mencomot sebiji bakwan dan langsung memakannya dengan cabe hijau. Meski Semi seorang vocalist dan sangat suka sama gorengan, entah kenapa suaranya selalu jernih dan bagus. Padahal Semi sama sekali tidak berlatih vocal atau sejenisnya. Tapi berkat itu, Semi jadi lebih leluasa memakan apapun, termasuk gorengan. Yang selalu digadang-gadang sebagai perusak suara.

"Jadi pergi lo ntar?" tanya Suga setelah Semi menghabiskan bakwan di tangannya. Semi mengangguk sebagai jawaban. "Enak banget, ya, punya cowok. Gue kapan, ya, punya cowok juga kayak lo."

"Makanya kerja," sahut Semi memasukkan lagi bakwan ke mulutnya.

Suga menoleh. "Apa hubungannya kerja sama pengen cowok?" Semi mengangkat kedua bahunya tanda tak mengerti. Semi hanya asal menjawab tadi.

Menghela napas lemah, Suga menyandarkan kepalanya pada tembok di belakangnya. Menatap pada gumpalan awan yang berjalan perlahan terbawa angin kuat sore ini. Semuanya selesai, tujuan untuk menyelamatkan Semi selesai. Lalu bagaimana selanjutnya? Bagaimana dengan Suga sendiri? Semi sudah menemukan jalan yang dia pilih, bersama dengan laki-laki yang dia temukan juga. Tapi Suga? Traumanya dengan laki-laki belum sepenuhnya hilang, dan Suga juga membutuhkan laki-laki suatu saat nanti. Tapi laki-laki yang disukainya seakan menghilang dari bumi.

Daichi sama sekali tak mendekat atau sekedar menyapa saat bertemu pun tak pernah lagi. Kecewa, sudah pasti Suga kecewa dengan sikap Daichi yang seakan menjauhinya. Apa Daichi tau kalau Suga sekotor itu, sampai tak mau mendekat? Sudah beberapa kali Suga menanyakan itu ke dirinya sendiri. Dan tetap saja jawaban tak akan datang jika Suga tak bertanya pada Daichi langsung.

"Tenang aja. Dia nggak akan liat orang lain, kok." Ucapan Semi membawa kesadaran Suga kembali. "Lo kenal dia, dan dia juga mengerti sama keadaan lo. Jadi jangan khawatir dia berpaling dari lo," lanjut Semi.

"Gue harap begitu," jawab Suga.

"Pasti begitu!" sahut Semi sedikit membentak. Lalu menelan bakwan yang sedang dikunyah-nya. "Suga denger! Lo adalah satu-satunya orang yang berhasil berhadapan dengan gue. Jadi nggak mungkin lo kalah apalagi menyerah saat berhadapan sama si nggak peka kalo kata lo itu! Lo itu Sugawara Koushi! Orang paling beruntung menurut gue! Nggak mungkin orang kayak lo ditolak sama modelan Daichi!"

Garis TakdirWhere stories live. Discover now