62. Pergi

76 9 4
                                    

"Dia satu-satunya yang kamu miliki sekarang. Jangan sakiti dia. Jangan rusak kepercayaannya padamu karena hal sementara seperti harta. Kamu ayahnya, harusnya kamu mengenal dia lebih dari siapapun. Kenapa malah kamu sakiti dia dengan tindakan bodohmu?"

"Dia anak kita. Aku sudah menyakitinya dengan pergi darinya selamanya, jangan kamu juga menjauh darinya! Dia butuh kamu sebagai ayah! Bukan seorang pria angkuh yang mengangkat tangannya pada seorang anak."

"Aku mohon, kembalilah kepada anakmu. Dia membutuhkanmu lebih dari apapun."

"Mama bilang gitu? Really?" tanya Oikawa antusias saat mendengar cerita ayahnya.

Pria dengan balutan apron itu mengangguk sebagai jawaban. Ia baru saja menceritakan mimpi yang sudah dia alami selama hampir seminggu itu kepada Oikawa. Mimpi dimana istrinya berbicara dan dia hanya bisa mendengarkan tanpa berbuat apapun. Duduk disebuah kursi yang dikelilingi bunga mawar hitam tanpa duri. Ucapan-ucapan yang istrinya katakan membuat ayah sadar, jika ia memang sangat berjarak dengan Oikawa. Ayah menyakiti Oikawa dengan segala tindakannya. Walau berniat baik sekalipun, tetap saja itu membuat Oikawa sakit.

Jadi dengan mantap hari ini saat Oikawa pulang ia akan meminta maaf, dan semuanya sudah terjadi.

"Sekali lagi Papa minta maaf ya sama kamu. Papa banyak salah ke kamu selama ini-"

"Ssstt! Udah!! Tooru capek denger Papa minta maaf terus!" Potong Oikawa saat ayahnya lagi-lagi meminta maaf. Oikawa benar-benar lelah harus mendengar permintaan maaf lagi. Padahal cukup sekali dan Oikawa akan maafkan, nggak perlu sampai gumoh Oikawa mendengar permintaan maaf. "Daripada Papa minta maaf, lebih baik Papa cerita soal mimpi Papa aja. Masih banyak yang belum, kan?"

Akhirnya permintaan maaf selesai, keduanya pindah ke ruang tengah untuk berbicara santai layaknya ayah dan anak. Ditemani makanan yang Oikawa pesan untuk menenangkan cacing di perutnya. Membicarakan hal-hal yang selama ini ingin terucap, tapi tak sampai bahkan menggunjing orang yang tidak mereka sukai bersama. Sesuatu yang Oikawa syukuri karena akhirnya sang ayah kembali kepadanya.

🌹🌹🌹

"Dua hari lagi. Dua hari lagi aku nggak harus berpura-pura baik-baik saja. Dua hari lagi aku bebas darinya. Semangat, cuma tinggal dua hari!" gumam Akaashi menatap wajah pucat nya di pantulan cermin kamar.

Akashi mencoba mensugesti dirinya sendiri untuk mempertahankan senyumnya dua hari kedepan. Karena setelah dua hari dia tak akan lagi melihat seseorang yang sangat ditakutinya, Bokuto, sementara waktu. Setelah dua hari Akaashi tak perlu lagi merasa lelah hanya karena seseorang terlalu banyak bicara hal random. Akaashi akan menghilang sementara dari Bokuto.

Menghilang untuk mengistirahatkan segalanya. Hati, tubuh, dan pikirannya butuh istirahat dari masalah-masalah yang menerpa. Semoga saja setelah dirinya pergi semuanya kembali normal.

"Sayang."

Akaashi menoleh pada suara yang memanggilnya lembut. Itu ibunya. Wanita paruh baya yang masih tetap cantik walau usianya tak lagi muda itu mendekat. Memegang bahu Akaashi lalu bertanya,

"Kamu sudah siapkan barang-barang kamu?" tanyanya. "Besok Mama akan ke sekolah untuk mengurus kepindahan kamu." Tambah Mama memberi tau.

Akaashi hanya mengangguk paham. Ia kembali menatap pantulan dirinya di cermin dan mengangkat bibir pucat nya membentuk sebuah lengkungan. Senyum sarkastik yang ditujukan untuk dirinya sendiri.

"Selamat, kamu berhasil menipu semua orang," ucapnya lirih.

***

Garis TakdirWhere stories live. Discover now