22. Harapan

88 15 13
                                    

"KASIH NGGAK!!" Teriak seorang laki-laki paruh baya ke anaknya untuk meminta uang. Wajahnya agak memerah karena marah. Dan penampilannya nggak mencerminkan seorang ayah sama sekali.

"Nggak, pa. Ini buat bayar sekolah aku besok!" Tolaknya menyembunyikan uang itu dalam bajunya.

"Ooh, ngelawan lu? Mau, jari lu patah kayak dulu lagi? HAA?" Bentak laki-laki itu, membuat anak itu tersentak kaget dan langsung menunduk dalam. Meski nggak kali ini doang dibentak sama orang tuanya, tapi tetep aja. Hati seorang perempuan nggak akan bisa nerima perlakuan kasar. Apalagi dari seorang laki-laki.

Pria paruh baya itu mendekat, hendak mengambil paksa uang dari tangan anaknya. Tapi sebuah tangan lain menyekal tangan pria itu. Pria itu melihat ke pemilik tangan yang menyekal tangannya dengan tatapan marah.

"Jangan ambil uang itu," kata seorang wanita yang mencekal tangan pria itu. Membuat pria itu marah seketika.

Brakk

Dugg

Tubuh wanita itu dihempaskan dengan mudahnya oleh pria itu, sampe menghantam tembok. Hal itu sukses besar membuat Semi mematung. Kalo dari urutan kejadian, bentar lagi bakal ada kaca atau benda yang melayang kearahnya. Berhubung Semi udah hapal, dia berhasil menghindar dari serangan benda pertama. Tapi nggak dengan benda kedua.

Sebuah pot plastik mendarat tepat di dahinya, dan mencetak sebuah pola di sana. Sakit yang pasti iya, tapi lebih sakit lagi kakinya yang nggak sengaja nginjak beling di lantai.

"Kalo lu nggak mau dia ngasih duit itu ke gw, lu yang harus ngasih duit ke gw!" Kata pria itu hampir mencekik leher ibu Semi.

Semi yang melihat itu jelas nggak bisa cuma diem, dia mencoba melepas tangan ayahnya dari leher ibunya. "Pa, lepasin pa! Mama kesakitan!!"

"Bakal gw lepasin kalo dia udah mati! Dan setelah dia mati, gantian lu yang mati!"

"Bunuh aja Eita sekarang pa! Eita juga nggak mau hidup lagi, kok!" Teriak Semi. Dia masih mencoba ngelepasin tangan ayahnya yang mencekik ibunya. Selang beberapa detik, ibunya berhasil lepas dari cekikan ayahnya. Ibunya langsung menampar kuat pipi Semi.

Hal itu membuat Semi membelalak nggak percaya. Seakan hal yang nggak seharusnya terjadi malah kejadian.

"Kamu gila?! Kamu pengen mati ditangan orang yang nggak waras?!" Tanya ibunya setelah menampar pipinya. Semi diam, karena nggak tau mau jawab apa. Hatinya pengen banget teriak kalo dia pengen mati. Tapi mulutnya nggak menyetujui.

"Ingat kata mama! Hidup!!" Setelah bilang gitu, ayahnya menarik rambut ibu Semi dengan keras. Mungkin ada beberapa helai rambut yang tertinggal di tangan pria itu. Dengan segenap kekuatan, ibu Semi berusaha ngelawan suaminya. Tapi nihil, kekuatan perempuan nggak di desain lebih kuat daripada laki-laki.

"Hidup pun lu itu nggak berguna. Setelah gw dapet tuh duit, gw harap lu nggak bisa lagi liat matahari besok. Mati sana!" Kata pria itu lalu mengambil uang yang diberikan kepadanya. Dan tentu aja, dia pergi dengan jatuhin barang yang nggak bersalah.

Semi yang awalnya terduduk di belakang sofa bangkit dan memeluk ibunya. Darah segar berhasil keluar dari pelipis ibunya, akibat benturan dari tembok tadi. Semi berniat ngobatin ibunya, tapi ibunya malah ninggalin Semi sendirian di ruang tamu rumah itu. Semi rasa ibunya marah, makanya nggak mau diobatin sama Semi.

"Ya Allah, gw pengen mati, kalo hidup cuma harus liat orang tua gw berantem kayak tadi." Monolog Semi. Kakinya berjalan ke arah kekacauan yang diperbuat ayahnya dan mulai membersihkannya. Beling, ruangan berantakan, dan bercak darah di lantai. Semua Semi yang harus beresin.

"Esstt-" pecahan beling berhasil menggores tangan Semi. Membuat liqiud merah mulai keluar dari luka gores itu. Setiap hari mungkin bakal ada satu luka baru di tubuh Semi. Luka kemaren aja belum diobati sama dia, sekarang tambah lagi satu luka gores kecil. Emang nggak seberapa, tapi tetep aja harus diobati kan.

Garis TakdirWhere stories live. Discover now