9.kota sebelah

129 28 2
                                    

Menunggu hanyalah harapan semu yang mengikis hati dalam penantian
.
.
.

Dua jam setengah duduk dalam mobil, berhasil buat Oikawa terlelap tidur. Entah itu karena capek ngeluh, atau emang ngantuk, hanya Oikawa yang tahu. Sementara Iwa masih tetap terjaga, dengan pikiran yang melayang entah kemana.

"Sial banget, sih, gw. Suka, kok, sama yang udah punya pawang," monolog Iwa dengan suara kecil. Dia masih jaga privasi dari mang Eren, meski udah kenal dari bayi juga.

Ckiiiitt

Rem mendadak yang dilakuin sama mang Eren, menarik paksa Iwa dari lamunannya. Iya, lah, jidat nabrak kursi depan, gimana nggak balik sadar lagi. Tapi anehnya, Oikawa nggak bergerak sedikitpun dari tidurnya. Kea udah kebal sama guncangan pas tidur.

"Apaan, sih, mang?"

"Itu, non, ada bebek, lewat. Sambil bawa anak-anaknya, lucu banget," jawab mang Eren sambil nunjuk ke depan.

Iwa menjulurkan kepalanya lewat kaca samping, buat liat apa emang ada bebek di depan. Ternyata bener, ada dua bebek dewasa, masing-masing di depan dan belakang, sementara bagian tengah, ada delapan, atau sepuluh anak bebek yang warnanya masih kuning. Iwa yang lihatnya jadi gemes, pengen ambil satu terus bawa pulang. Tapi di cegah, sama mang Eren.

"Kalo bawa anak, gini, biasanya galak, non. Bisa-bisa kaki non jadi korbannya."

Mendengar itu, niat Iwa pun surut. Iwa nggak mau kakinya lecet cuma gara-gara mau ngambil anak bebek. Masih sayang kaki, dia.

Ini mereka ada di pinggiran kota, ya, bukan di tengah-tengah. Makanya di pinggir kiri-kanan jalan ada sawah yang berjejer. Kadang bakal ada juga rombongan bebek kea tadi yang mau nyebrang. Jadi harus ekstra hati-hati, kalo nggak mau di tuduh jadi pelaku tabrak lari. Kan nggak lucu, ada berita "tiga orang berkendara dengan kecepatan tinggi, menabrak dua bebek yang sedang melintas bersama anak-anaknya. Dua korban tewas, meninggalkan 10 anak yang masih kecil." Nggak lucu, beneran.

Di depan, selang tiga rumah, itu rumah ayahnya Iwa. Rumah dua tingkat itu bercat hijau toska, dengan tanaman berjejer di depan.

Tiba-tiba terdengar barang jatuh dari dalam rumah, membuat Iwa dan Oikawa bertatap sejenak sebelum berlari masuk. Iwa mendobrak pintu rumah dengan nggak selow, dan dihadapkan dengan ruangan yang temaram. Dia kalang kabut, bahkan sampe lupa nyalain saklar lampu.

"Bunda?! Bunda dimana?"

Nggak ada jawaban, dan cuma suara kulkas berdengung kecil dari arah dapur.

"Bunda!!"

"Apaan, sih?" Suara wanita setengah baya itu membuat iwaizumi celingukan, mencari keberadaannya. Ternyata dari arah tangga. Ibunya turun dengan ayahnya dibelakang sang ibu. Iwaizumi menghela napas lega, setelah tau nggak terjadi apapun.

***

"Jadi gitu," kata ibu iwaizumi menerangkan. "Gimana menurut kamu?" Lanjutnya.

Iwa berpikir sejenak, usulannya ibunya nggak terlalu buruk, sih. Tapi, kan , dia baru kelas 3 awal. Masih ada beberapa bulan lagi buat mutusiin mau kemana.

"Nak tooru juga boleh ikut, kok," ucap ayah Iwaizumi, membuat mereka--oikawa dan iwa--bertatapan sebentar. Lalu Oikawa menggeleng singkat, sedetik kemudian mengangguk.

Garis TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang