54. Tau bedanya kan??

52 9 1
                                    

"Nih, dari bokap." Oikawa menyerahkan kantung kresek yang nggak tau apa isinya kepada Akaashi. Bisa dibilang cukup kasar untuk ukuran Oikawa yang selalu lembut kepada perempuan. Ditambah muka judesnya dia tunjukkan siang ini. Seakan Oikawa benar-benar membenci Akaashi yang bahkan nggak bersalah.

Bukan nggak bersalah sepenuhnya, Akaashi masih salah menurut Oikawa karena menerimanya, dan Oikawa benci itu.

Akaashi membuka kantung yang diberikan Oikawa dan tersenyum kecut. Apa dia sekarat di mata ayah Oikawa dan Oikawa sendiri? Akaashi tau kalau Oikawa sudah tau tentang penyakitnya, dan itu makin membuatnya merasa tertekan. Semakin banyak yang tau, semakin besar juga kemungkinan Bokuto tau. Padahal Akaashi sudah mati-matian menyembunyikannya dari Bokuto selama tiga bulan terakhir.

"Makasih."

"Hmm." Oikawa beranjak dari tempatnya, tapi sedetik kemudian tangannya ditahan oleh Akaashi. Membuatnya berhenti dan berbalik lagi. "Kenapa?"

Akaashi menghela nafas pelan sebelum mengatakan hal yang ingin ia katakan. "Jangan bilang apapun ke kak Bokuto atau siapapun," katanya lirih. Menatap mata coklat Oikawa dengan tatapan yang belum pernah dia perlihatkan kepada orang lain. Tajam, tapi juga penuh harap.

Tautan tangan mereka terlepas karena Oikawa menyentak pelan tangan Akaashi. Membuat jarak yang cukup untuk kenyamanan masing-masing.

"Jadi lo belum ngasih tau Bokuto soal ini?" tanya Oikawa memastikan. Pikirnya Akaashi nggak akan menyembunyikan hal sebesar ini dari Bokuto yang notabenenya orang terdekatnya. Seenggaknya itu yang Oikawa tau soal hubungan mereka berdua.

Akaashi menggeleng lemah. Sengatan matahari mulai terasa, angin pun tak ingin menunjukkan dirinya untuk sekedar memberi rasa sejuk. "Belum, dan nggak akan pernah aku kasih tau," jawabnya lantas membuat alis Oikawa mengerut.

"Dua bulan lagi aku bakal pergi untuk berobat. Setelah ujian, dan sebelum kenaikan. Mungkin butuh setengah tahun untuk itu. Atau lebih," jelas Akaashi.

"Kok gue nggak tau apapun soal itu?"

"Memangnya kakak peduli?"

Diam, Oikawa tak punya jawaban untuk pertanyaan balik Akaashi. Memangnya dia peduli? Tentu aja nggak. Tapi setelah dia tau segalanya dan untuk berpura-pura nggak tau itu rasanya salah. Ada sesuatu yang mengganjal dihatinya jika harus berpura-pura nggak peduli.

"Jadi lo mau kabur dari permasalahan yang udah lo- ahh nggak, yang udah bokap lo buat?"

"Aku nggak kabur, aku cuma mau istirahat sejenak dari permasalahan ini. Dan aku nggak akan kabur meski hatiku pengen kabur sekalipun. Karena itu nggak akan berguna, kan." Rehat sejenak dengan meninggalkan tanda tanya besar untuk satu pihak, tapi juga memberikan luka untuk pihak lainnya. Keputusan yang mau nggak mau harus Akaashi ambil atas dasar kehidupannya. Sekalipun Akaashi tetap disini, mereka nggak akan bisa bersatu 'kan. Jadi lebih baik menghilangkan rasa yang ada secepat mungkin sebelum semuanya jadi makin runyam.

"Dengan lo pergi tanpa ngasih tau kayak gitu?" Oikawa menarik salah satu sudut bibirnya hingga membentuk sebuah smirk. "Hhhh kocak lo!"

Akaashi geram, menggenggam kuat tangannya hingga buku-buku jarinya terlihat memutih. Bukan salahnya kalau dia ingin pergi tanpa memberi kabar, kan? Semua orang berhak pergi jika ingin.

"Dari pada lo pergi tanpa kabar, lebih baik lo perbaiki dulu hubungan kalian berdua sebelum mutusin hal kea gini. Percuma lo pergi berobat kalo hati lo sendiri hancur." Mengorbankan hatinya hanya untuk mempertahankan raga yang akan kosong tanpa rasa. "Seenggaknya lo 'kan bisa pergi tanpa beban kalo udah baikan sama Bokuto," lanjutnya.

Garis TakdirWhere stories live. Discover now