50. Lagi-lagi

58 12 10
                                    

.
.
.

Sang ayah hanya mengangguk pelan, menatap pada mata coklat Oikawa dengan tatapan sendu. "Kamu tau, Akaashi lagi sakit, kan?" Tanyanya dengan harap Oikawa bisa mengerti maksudnya. Namun nyatanya malah sebaliknya, Oikawa malah semakin nggak ngerti sama sekali.

"Hah? Maksudnya?" Akaashi sakit? dan itu bisa mengancam nyawanya? sepertinya itu nggak mungkin.

"Leukemia stadium 1, dan beranjak ke stadium 2." Terang ayahnya yang jelas membuat Oikawa membulatkan matanya sempurna. Kebohongan macam apa yang dibuat ayahnya kali ini. Jelas sekali Akaashi sehat, malah mengarang Akaashi menderita leukemia stadium 1 lagi, kebohongan yang sulit dipercaya.

Oikawa terkikik geli mendengar kata-kata sang ayah yang terkesan ngelantur. Dilihat darimanapun Akaashi itu sehat wal afiyat. Memang wajahnya terlihat pucat, tapi dari dulu memang wajahnya putih pucat, jelas bukan karena sakit tapi karena memang seperti itu. Oikawa pun dengar sendiri dari mulut Akaashi sendiri, bukan katanya lagi.

"Kamu nggak percaya?"

"Siapa juga yang bakal percaya sama bualan kayak gitu. Diliat dari sisi manapun emang ada sisi yang keliatan sakit dari Akaashi? Nggak ada, pa!"

"Well, itu keputusan kamu untuk percaya atau nggak soal penyakit Akaashi. Tapi keputusan papa sudah bulat, kalian tetap akan menikah saat kalian dewasa!" Pungkas ayah dengan gidikan bahu yang terlihat menyebalkan untuk Oikawa. "Karena papa nggak akan menyia-nyiakan kesempatan emas untuk berada di puncak selama mungkin." Senyuman licik terkembang di wajah tampannya. Oikawa menatap ngeri pada sang ayah yang tersenyum seperti seorang penjahat yang mendapatkan mangsanya.

"Papa berubah sejak mama nggak ada," celetuk Oikawa membuat sang ayah menoleh kembali kearah Oikawa. "Papa nggak sepengertian dulu saat mama masih hidup. Papa berubah jadi papa yang nggak Tooru kenal," lanjutnya.

Ayah menatap Oikawa dengan tatapan yang sulit diartikan. Mendengar ucapan Oikawa barusan ada sedikit rasa aneh di dadanya.

"Papa jadi gila kerja, nggak peduli sama sekitar, sama anaknya, bahkan sama kesehatan papa sendiri pun papa nggak peduli.. papa yang Tooru kenal dulu nggak akan secuek itu buat masalah kesehatan. Bahkan saat Tooru kegores kertas aja papa bingung panggil ambulans, sekarang apa, papa sendiri malah punya kolesterol tinggi.. papa bukan papa yang Tooru kenal dulu..."

Ayah terdiam, mengingat kembali saat istrinya masih bersama mereka. Saat Oikawa kecil yang terluka karena paper cut dia berlarian kesana-kemari untuk mencari ponselnya guna menelpon ambulan. Yang padahal benda itu ada di tangannya dari tadi. Sementara sang istri hanya melihat tindakan suaminya dengan terkekeh kecil karena merasa lucu. Jemari lentiknya meraih tubuh kecil Oikawa untuk dibawanya dalam pangkuan. Meneriaki sang suami agar berhenti berlarian dan menyuruh mengambilkan kotak p3k di dapur.

Ayah mengangguk patuh lalu berlari menuju dapur hingga tersungkur karena tersandung kaki meja yang tak bersalah. Oikawa kecil dan ibunya tertawa melihat ayah tersungkur seperti itu. Tawa Oikawa membuat ayah merasa lebih tenang, merasa anaknya baik-baik saja karena bisa tertawa lepas seperti itu. Kaki jenjangnya melangkah ke dapur, mengambil kotak berlogo tanda plus itu dan kembali ke ruang tengah. Ayah menyerahkan kotak berisi berbagai macam obat untuk pertolongan pertama itu ke istrinya dan duduk di depan sang anak yang masih tertawa. Menoel pipi gembul Oikawa dengan rasa gemas yang tak tertahan lagi. Bocah tiga tahun itu hanya bisa tertawa lagi dan lagi saat ayahnya memperlakukannya dengan penuh sayang seperti itu.

Tidak seperti sekarang, bocah tiga tahun yang dulu sekarang sudah menjadi remaja 18 tahun yang akan menginjak kedewasaan. Apa kasih sayang juga akan semakin menghilang seiring bertambahnya usia? Itu yang dipikirkan Oikawa saat ini. Dulu sang ayah menyayanginya tanpa syarat, tapi sekarang kasihnya hanya terlihat saat ada orang lain bersama mereka. Selebihnya hanya berbicara tanpa rasa hangat sama sekali.

Garis TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang