49. lelucon

51 10 8
                                    

Siang terlampaui, sinar jingga mulai menunjukkan diri di peraduan matahari. Udara lembab khas seperti habis hujan pun menemani ketiganya kali ini. Duduk di teras rumah memandang kosong beberapa karangan bunga yang dikirim oleh kolega bisnis ayah Suga. Ditemani sepiring pisang goreng yang mulai mendingin karena tak tersentuh sama sekali.

Semi menghembuskan nafasnya pelan, sesak di dadanya mereda, tapi tak sembuh sepenuhnya. Bagaimana bisa sembuh, jika separuh semestanya hilang untuk selamanya. Setetes air mata pun turun kembali dari manik bulat itu. Suga yang melihatnya pun hanya bisa menahan perih di hatinya untuk kesekian kalinya. Sementara Ushijima memandang khawatir kepada sang gadis yang terlihat sangat tak berdaya.

Ketiganya lantas tak berbicara sama sekali, sampai kumandang adzan ashar terdengar di telinga. Seorang laki-laki paruh baya dengan sarung dan kopiah nampak keluar dari dalam rumah. Sempat terkaget karena tak menyangka ada orang di teras rumah, laki-laki yang notabenenya adalah ayah Suga itu menatap sendu ke keponakannya.

"Nak, ikut ke masjid yuk," ajaknya kepada ketiga remaja yang termenung itu mencoba mencairkan suasana yang terlihat mendung. Baik Semi maupun Ushijima tak ada yang menjawabnya, Suga pun angkat bicara.

"Daddy aja yang ke masjid, kita sholat di rumah aja," kata Suga menjelaskan.

Sang ayah hanya mengangguk paham lalu menatap ke Ushijima yang ada tepat di depannya. "Kamu, masa kamu mau di rumah juga?" Tanyanya ke Ushijima. Dengan sedikit enggan, Ushijima keluarkan kalung salib dari balik kaos yang dia kenakan. Tanpa berucap apapun, ayah Suga mengerti itu. Mengerti bahwa Ushijima bukan seorang yang seiman dengan mereka sekeluarga.

Sepeninggal ayah Suga, hening kembali menyapa. Ushijima juga mulai merangkai segala kejadian aneh yang dia alami hari ini dan kemarin malam. Alisnya bertaut dan matanya bergerak kesana-kemari layaknya orang yang bingung. Sesekali dia bahkan menggeleng kuat hanya untuk menepis pikiran irasional yang terpikirkan olehnya. Hampir dua hari ini Ushijima tak melihat satupun 'mereka' di dekatnya. Bahkan saat di pemakaman pun sama, tak ada satupun yang terlihat oleh matanya. Apalagi di rumah Suga, auranya terasa berbeda sekali dari rumah yang sudah belasan tahun dia tempati. Rumah ini terasa lebih hangat dan nyaman baginya.

Lamunannya lantas buyar saat ibu Suga pun ikut keluar untuk menyuruh ketiganya masuk. Suga mengangguk dan membawa Semi masuk kedalam. Gadis yang lebih tinggi darinya itu sedikit hilang keseimbangan saat berdiri, tapi seperti biasa, Semi selalu berlagak sok kuat di depan orang lain. Serasa tak dibutuhkan, Ushijima hanya melihatnya saja, niat ingin membantu hilang sementara saat melihat tatapan mata kosong milik Semi. Begitu menyayat, tapi juga penuh arti.

🌻🌻🌻

Sekarang, kita pindah ke Oikawa yang sedang panik menunggu sang ayah yang tak kunjung sadar. Dari siang, sampai sekarang menjelang malam pun tak ada tanda beliau akan membuka mata. Apa dia mukulnya terlalu kuat, sampek ayahnya belum juga bangun, tapi kata ayah Iwa nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Rasa bersalah mulai muncul melihat keadaan sang ayah yang cukup berantakan. Meskipun tak seberantakan dia, tapi tetap saja rasa bersalahnya lebih tinggi.

Dalam kesendirian itu Oikawa menatap ke langit yang mulai menggelap. Bersamaan dengan senja yang mulai menghilang, dia tumpahkan keluhannya dalam setetes air mata. Hanya satu tetes saja pun bisa mengobati sementara gundah dihatinya. Menikmati senja sendiri memang bukan hal yang buruk, tapi akan lebih baik kalau ada bahu untuk disandari sementara 'kan. Sayangnya Oikawa belum bisa melakukan itu, karena statusnya yang ada di perbatasan.

Antara iya dan tidak, antara menerima dan mengikhlaskan, dan antara Iwaizumi dan Akaashi. Jikalau disuruh memilih, jelas Oikawa akan memilih Iwaizumi. Tapi bukan pilihan yang dia dapat, tapi tuntutan dan perintah.

Garis TakdirWhere stories live. Discover now