56. Keikhlasan, keberanian

60 11 0
                                    

Lima hari sudah sejak ujian hari pertama terlaksana. Tinggal beberapa hari lagi neraka berbentuk kertas itu berakhir. Akan berakhir juga penderitaan murid-murid yang tertekan gara-gara ujiannya susah. Tapi sepertinya ujian untuk Suga belum usai sampai hari itu. Ujiannya akan berlangsung lebih dari seminggu.

Padahal Suga rasa dia sudah move on dari perasaannya yang itu. Tapi ternyata belum. Rasa takutnya teralihkan, benar-benar teralihkan saat matanya bertatapan langsung dengan netra hitam legam itu. Hari ini sepulang sekolah harusnya dia nggak mampir ke minimarket. Kalau Suga nggak mampir nggak akan dia bertemu dengan satu-satunya orang yang dulu pernah mengisi kursi tunggu hatinya.

"Gue harus gimana?" Suga menenggelamkan wajahnya pada tumpukan bantal yang dia susun. "Masa harus balik kayak dulu lagi, sih? Gue belum siap!"

"Lo lagi bicarain apaan sih?" Semi yang baru keluar dari kamar mandi bertanya heran pada kakaknya itu. Tiba-tiba mengomel nggak jelas semenjak pulang sekolah, sampai sekarang pun masih bicara nggak jelas. Apa efek terlalu banyak mikirin ujian kah? Semi nggak tau.

Suga mendongak untuk melihat ke Semi yang sedang mengeringkan rambutnya. Suga lalu duduk dan memfokuskan penciumannya pada aroma yang familiar di hidungnya. Mengendus-endus ke segala arah hingga berakhir di rambut Semi yang masih basah.

"Lo pake shampo gue?!" tanya Suga sedikit menaikkan nada bicaranya. Semi yang memang benar memakai shampo Suga hanya menunjukkan cengirannya. Lalu segera kabur dari kamar masih dengan handuk di tengkuknya.

"Eita!! Shampo gue!!" pekik Suga selagi mengejar Semi yang malah turun ke bawah. "Kalo abis gantiin yang baru, tapi harus sama!" lanjutnya saat menuruni tangga dengan sedikit tergesa. Suga kesal dengan tindakan Semi yang memakai shampo nya tanpa izin.

Sampai di ruang tengah, dimana Semi bersembunyi di tumpukan bantal sofa yang jelas nggak menutupi seluruh tubuhnya. Suga segera menangkap cewek itu dan mengapit kepala Semi di ketiaknya. Semi nggak memberontak, dan malah tertawa kecil karena lehernya geli oleh lengan Suga. Fakta menarik tentang Semi, cewek itu gampang gelian. Bagian sensitifnya adalah perut dan telapak kaki. Sementara tengkuk jadi bagian yang paling sensitif di tubuh Semi.

"Sug, udah... Gue geli..." Semi tertawa lepas saat Suga malah menggelitik perutnya. "Sugaaa udaahh, gue geli." pinta Semi hingga berguling ke lantai karena saking kuatnya Semi tertawa.

Suga segera berhenti menggelikiti Semi dan berlalu ke meja makan setelah menabok pantat Semi dengan cukup keras. Terbayarkan sudah kekesalan Suga karena Semi memakai shampo nya tanpa izin. Semi terengah-engah di dekat sofa, menatap lampu yang menggantung di langit-langit lekat. Begitu terang, sampai membuat matanya berair. Mengesalkan, karena Semi baru bisa merasakan kehangatan setelah semestanya pergi. Seakan ibunya nggak berhak bahagia di dunia. Ibarat pepatah, nasi sudah menjadi bubur, Semi nggak bisa berbuat apapun lagi.

Mau menentang takdir? Memangnya siapa Semi hingga mau menentang ketetapan Tuhan. Semi hanya gadis kecil yang menginginkan hidupnya bahagia dan bebas dari luka. Perlahan-lahan merangkak menuju kebebasan yang selama ini dia inginkan.

"Sem, buruan kesini. Kalo nggak cepet gue abisin semuanya!" teriak Suga membuyarkan lamunan Semi. Segera Semi menghapus sisa air mata yang tadi sempat keluar dengan kasar. "Semi!" panggil Suga lagi, kali ini lebih keras.

"Iya iya bawel!" sahut Semi menaikkan oktaf suaranya. "Lagi jalan ini."

Senyum mengembang di wajahnya, mengingat segala kebaikan yang dia terima akhir-akhir ini. Kesialan yang dulunya selalu terjadi di hidupnya sekarang sudah hilang sepenuhnya. Bersyukur pasti, hanya saja penyesalan karena nggak bisa melindungi sang ibu lebih besar daripada rasa bahagianya.

Garis TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang