16. amarah

115 18 16
                                    

"Iwa, kamu ngapain di sana!! Awas!!" Teriak seseorang saat melihat iwaizumi berdiri di tengah jalan.

Iwaizumi yang kesadarannya udah hampir hilang cuma menoleh ke belakang dan tersenyum kayak orang gila. Sementara bus dari sisi kiri masih belum ada tanda-tanda mau mengerem.

"Hehehehe kok kalian jalannya pada kebalik gitu sih? Gw juga pengen bisa jalan balik gitu," racau Iwa di tengah jalan.

Jarak iwaizumi dan bus itu makin menipis, sementara Iwa sendiri masih nggak sadar sama keadaannya sekarang. Tiga puluh meter sebelum bus itu menghantam iwaizumi, seseorang mendorong tubuh Iwa sampe pinggir jalan.

Bruggh

Tubuh keduanya menghantam aspal dengan kuat, mungkin bakal ada luka di sana. Tapi abaikan dulu pasal luka, kita liat iwaizumi yang masih nggak sadar dan terus meracau hal random.

"Yaah busnya pergi, padahal...hik....gw pengen naik bus tadi. Lu ngapain sih...hik...dorong gw, sakit tau."

.
.
.
.

Dalam sebuah rumah, di pinggiran kota. Rumah yang masih layak huni, tapi harus segera direnovasi, kalo nggak mau hal buruk terjadi. Semisal roboh. Dalam rumah itu, ada sepasang suami istri, yang selalu dan selalu bertengkar. Nggak tau udah berapa kali mereka bertengkar minggu ini.

"Lu pikir dengan ngancem kayak gitu gw bakal takut, gitu?" Tanya pria paruh baya dengan kekehan keluar dari mulutnya. "Nggak akan!! Palingan juga lu yang ketakutan," lanjutnya.

"Kenapa aku harus takut? Orang aku nggak salah. Aku yang jadi korban disini, jadi harusnya kamu yang takut dihukum." Elak wanita itu.

Sementara tak jauh dari ruang tengah, tepatnya di kamar seseorang. Terlihat berantakan, kayak habis diguncang gempa. Bau anyir juga menguar didalamnya. Seorang gadis remaja tengah kesulitan mengobati, atau sekedar mengompres luka yang dia punya. Luka yang didapat dari ayahnya sendiri.

Tepat di lengan bagian atas dan sedikit di bagian pelipisnya. Terlihat jelas darah yang sudah mengering. Mendapat luka dan cacian, seolah udah jadi makanannya sehari-hari. Jadi nggak heran, kalo dia merasa biasa saja dengan luka yang dia punya. Bahkan cenderung nggak peduli sama sekali.

"Abis ini gw mau ngapain, ya? PR udah gw kerjain, rumah juga udah berantakan, ortu udah berantem, yang belum cuma mati doang." Gumamnya di saat membersihkan luka di lengannya.

"Gw telpon Suga aja gimana, ya. Ehh tapi ntar gw malah disuruh tinggal di sana. Jangan aja deh."

Semi mulai bingung, dan cuma berjalan mengelilingi gudang yang dia klaim sebagai kamar ke duanya. Tiba-tiba rasa takut menyerangnya. Jantungnya berdebar kuat, dan gemetaran mulai menjalar di seluruh tubuhnya. Nafasnya pendek dan menderu, seakan Semi bisa mati saat itu juga. Ini satu hal yang paling Semi benci selain disuruh berdiri di depan kelas.

Udah berapa bulan ini Semi ngalamin panic attack yang nggak tau apa penyebabnya. Hampir setiap hari dia mengalaminya, dan jadi gangguan panik. Dia nggak bisa mengandalkan orang lain. Karena nggak ada orang lain di rumah ini yang peduli sama dia. Orang tuanya sendiri juga sama, mikirin diri sendiri, dan nggak mikirin anaknya sama sekali.

Bisa tinggal di rumah ini aja Semi udah bersyukur. Jadi dia nggak menuntut apapun dari orang tuanya. Menuntut pun, nggak ada yang bisa dituntut. Orangtuanya bukan orang berada, terlebih posisi ayahnya yang pengangguran akut. Semi nggak bisa berharap sama sekali sama ayahnya.

Tap... Tap... Tap...

Samar-samar bisa Semi dengar langkah kaki menuju kamarnya. Panic attack nya belum berhenti,dan makin memburuk. Pandangannya memburam seakan Semi bisa pingsan kapan saja.

Garis TakdirWhere stories live. Discover now