30. Dampak Sebuah Kebenaran

696 64 1
                                    

Hujan deras menerpa malam itu, udara dingin yang menusuk serta deru hembusan angin yang kencang tak menghentikan Arraf melangkah memasuki Hutan Pinus. Ia melangkah lebar dengan gusar, tidak peduli dengan tapak jalanan yang terlihat licin dan tergenang oleh air hujan. Pria itu terus berjalan dengan pandangan berkilat lurus ke depan. Hingga ia tidak sadar bahwa ada seseorang yang mengejarnya dari belakang.

Satuk terus berlari mengikuti Arraf memasuki Hutan Pinus, napasnya memburu mengejar langkah Arraf yang begitu cepat menjauhi dirinya. Seolah ia sedang berlari berpuluh kilometer.

"Raf, berhenti!"

Arraf memaksakan kakinya untuk berhenti. Ia membalikkan badan untuk menatap Satuk yang sedang terengah dengan napasnya. Derasnya hujan tidak memburamkan penglihatan mereka berdua, Satuk melihat sorot mata Arraf yang menghunus tajam padanya sedangkan Arraf melihat sorot mata Satuk yang terlihat gundah.

"Lo jangan begini Raf. Dengerin dulu apa kata—"

Ucapan Satuk terputus saat Arraf menyandarkan badan Satuk di badan pohon dan mencekiknya sekaligus. Oksigen yang dihirup Satuk tersendat, kedua tangannya mencengkram lengan Arraf untuk minta dilepaskan.

"Gue, jamin, kalo, lo, bunuh, gue, lo, nggak, bakalan, tau, kebenaran, yang, sebenarnya, dan, gue, pastiin, lo, nyesel, seumur, hidup," ujar Satuk megap-megap. Berusaha untuk mengajak Arraf berbicara. Namun sepertinya itu percuma, ia pasrah bila ia akan ditemukan tewas di dalam Hutan akibat cekikan Arraf.

Tak diduga Arraf langsung melepaskan leher Satuk, sehingga Satuk tersungkur jatuh di kaki Arraf. Satuk seperti bersimpuh di bawah Arraf, ia terbatuk-batuk sambil memegangi lehernya untuk memastikan bahwa lehernya tidak putus.

"Lo beneran udah gila ya, Raf." Satuk berusaha mengambil nafas sebanyak-banyaknya, ia bersikap defensif sewaktu-waktu Arraf kembali mencekik lehernya.

"Langsung saja, gue nggak mau basa-basi. Jelaskan ke gue semuanya sekarang juga, Satuk."

Satuk berdiri, menyamai tinggi mereka meskipun Arraf lebih tinggi darinya beberapa senti. Tapi Satuk tidak peduli, ia memberikan tatapan tajam yang sama dengan Arraf padanya.

"Gue memang sudah tahu dari awal sejak kita temukan Ayu di tepi Danau."

Arraf mengatupkan rahang dengan memasang tatapan membunuh. Saat ini Arraf hanya ingin mendengar semua penjelasan Satuk mengenai hal ini, karena ia tahu Satuk sudah berhasil membodohinya dengan baik. Satuk sudah tahu segalanya, termasuk masalah yang terjadi padanya sepuluh tahun yang lalu. Dan bahkan saat di Pondok Satuk hanya diam memandanginya saat ia memperlakukan Ayu dengan kasar.

"Gue memang sudah tahu tentang Ayu, dia Melayu Sendjaja anak perempuan Oniel Sendjaja."

"Kenapa lo nggak ngomong dari awal brengsek?!" Teriak Arraf di tengah Hutan. Seketika petir bergemuruh diatas kepala mereka.

"Karena dari awal gue lihat lo menaru harapan sama dia. Gue lihat tatapan lo saat memandangi Ayu untuk pertama kalinya., Ayu seperti cahaya yang memaksa masuk di kehidupan gelap lo. Bahkan kalian ter-imprint secara tidak sengaja, bukankah itu sudah menjadi takdir lo untuk hidup bersamanya apapun keadaan kalian?!"

"Tapi kalau lo bilang diawal, gue pasti jauhin dia Satuk. Lo tahu gue benci sama hal-hal yang berhubungan dengan Oniel Sendjaja, sekecil apapun itu. Dan lo biarkan gue hidup bersama anak perempuan Oniel sendiri. Anak perempuan si pria brengsek yang membuat gue kehilangan semuanya. Anaknya dari pembunuh gue sendiri, Satuk." Ujar Arraf frustasi.

"Ralat Raf. Ayu bukanlah anak kandung Oniel. Dan kita juga belum menemukan bukti yang kuat kalau benar Oniel yang bunuh lo, itu baru praduga kita Raf. Masih menggantung."

Lentera Kanwi (Repost)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ