9 | ONA

10.1K 391 2
                                    

Selamat membaca

/Kamu terlalu indah, hingga ketika kamu pergi tanpa berpamitan pun aku merasakan keindahan mu meskipun aku terluka/

\⁠(⁠^⁠o⁠^⁠)⁠/


"Goblok."

"Bangun!"

"Bangun lo." Bara menarik gelas wineditangan Zioga. Cowok itu sudah mabuk-bergumam menyebut nama asing di sela tawa nya. Tawanya terdengar menyakitkan sampai Bara tak tega melihat Zioga seperti ini.

"Melio...Na..."

Bara menyatukan alisnya bertanya. Siapa? Bukan Melinda?

Bara di telpon sama salah satu kenalannya di bar mengatakan kalau Zioga sudah mabuk menghabiskan beberapa botol wine disana. Dia pun menyusulnya karena jam sudah menunjukkan pukul 10 malam.

"Gila Lo! Di saat dia masih hidup lo gak pernah hiraukan perasaan dia, tapi di saat dia udah gak ada lo baru kayak orang gila. Mau Lo apasih, huh?!" Bentaknya memukul rahang cowok itu geram. "Melinda udah mati. MELINDA UDAH MATI!!"

"Gue cinta sama Melinda tapi demi lo gue ngalah, Ga! " Bentaknya geram. "Tapi... Tapi kenapa nama gadis lain yang lo sebut, huh?! Siapa lagi Meliona, siapa!"

"Gue tau lo cinta dia Bar."

"Gue ... Rela kehilangan demi sahabat gue. "

Bara menatapnya kalut. Emosinya berkecamuk dengan perasaan bersalahnya.

"Bodoh. " Cowok itu merangkul leher Zioga membantunya yang sempoyongan berjalan. "Ayo balik!"

Walau susah dia terus memaksa agar Zioga mengikuti langkahnya. Tenaganya memang berguna untuk situasi seperti ini.

"Sialan! Semuanya sialan!" Amuk Bara menendang nendang mobilnya setelah memasukkan Zioga kedalam mobil.

"AAARGHH BANGSAT !! "

\⁠(⁠^⁠o⁠^⁠)⁠/

Satu Minggu berlalu.

Ona menjatuhkan pantatnya di sofa sambil menghidupkan TV menonton film Tom and Jerry. Dia sangat suntuk karena sendirian dirumah sementara mamanya pergi bekerja.

Drrtt... Drrt...

Telepon dari nomor asing membuat ekor matanya melirik ke meja didepannya. Tatapan tajam penuh maksud itu gegas mengambil handphonenya diatas meja kemudian mengangkatnya.

"Oh, hai, Nad! "Jawabnya menerima panggilan itu asal asalan. Lalu mengecilkan volumenya.

"Hah? Ma-Maksud? Eh gue bukan Nada, gue—"

Ona menahan geram lalu langsung memotong pembicaraannya terus menerus. Gue tau lo bukan Nada!

"Lo bilang apa? Mau ngajak gue jalan? Kemana?"

"Apasih! Gue mau nanyain kabar lo! Lo ud—"

"Wah! Oke sih, gue siap siap deh! Yaudah yaudah. Lo tunggu ya? Bye Nad!!"

Tut.

Ona mengusap wajahnya. Sial!

"Apa gue jalan jalan aja kalik, ya?" Gumamnya bertanya tanya setelah sambungan teleponnya dimatikan sepihak olehnya.

Kayaknya gue harus keluar dari rumah agar bisa komunikasi dengan mereka.

Dia pun langsung meletakkan remote diatas meja kemudian naik ke lantai dua menggantikan pakaiannya. Setelah itu dia melangkah keluar rumah memakai pakaian santai berjalan kaki menghirup udara segar diluar. Ona mengelilingi kompleks perumahannya karena kalau pergi bawa mobil dia tidak akan dapat izin sama pak Marito yang sebagai tangan kanan kepercayaan mamanya.

Langkah Ona terhenti begitu melihat seseorang sedang berdiri seperti kurir didepan rumahnya menunggu kemunculannya disana.

"Angkasa?"

Cowok yang disebut namanya itupun menoleh. Dia menatap Ona hangat.

"Ona! Na! Akhirnya... gue nungguin lo dari tadi karena penjaga dirumah lo melarang gue masuk."

Ona yang menyuruh mereka melarang cowok itu masuk karena malas meladeninya lagi. Tetapi kalau menjauh terus nanti dikira beneran gagal move on lagi?

Matanya melirik jam dilayar handphonenya.

Oke. Gue masih punya waktu beberapa jam sebelum pergi ketempat tujuan gue.

"Na, " Angkasa menggenggam tangan gadis itu. "Maafin Marshanda ya, Na? Karena dia udah nampar lo waktu itu. Lo pasti sakit banget ya, Na?"

Ona menarik tangannya menatap Angkasa tak percaya. Dari pada itu dia sudah merasakan rasa sakit yang jauh lebih parah! Bahkan dia sudah hampir mati. Di tampar doang bukanlah apa-apa baginya.

"Lo kalau datang kesini cuman mau bahas hal itu mending lo cabut. Gue harus pergi." Katanya ketus.

"Na. Lo kenapa? Kenapa Lo berubah? Mustahil kan Na, perasaan lo yang berjalan selama enam tahun buat gue pudar secepat itu?"

"Mustahil?"

"Jujur, Lo masih suka gue, kan? Lo jauhin gue karena lo marah kan, sama gue, Na?"

Ona menghela napasnya berat. Dia gak boleh emosi disini, dia harus belajar mengontrol dirinya agar tidak terulang lagi kejadian Minggu lalu. Tapi kalau di ingat ingat Ona selalu merasakan sakit dadanya tiap kali berhadapan sama Angkasa, seakan rasa sesak terus menyelimutinya hingga ia kesulitan bernapas. Apa ini bentuk dari unek-unek terpendamnya selama ini?

"Ang."

"Yaa?"

"Jujur ya. Sebenarnya gue itu..."

"Ya. Lo kenapa?"

"Gue benci lo. " Jujur Ona. "Rasa benci gue yang sekarang benar benar mengubur rasa suka gue buat lo. " Terangnya semakin membuat Angkasa terpaku ditempatnya.

"Gue gak bilang lo cowok jahat Ang. Karena gue dan elo udah sahabat sejak lama. Tetapi Lo berubah semenjak ada Marshanda, gue juga berubah semenjak gue suka sama Lo selama 6 tahun. Tapi sekarang selain rasa benci gue gak memiliki rasa suka atau rasa spesial apapun terhadap lo. Lo udah bukan sahabat bagi gue, bukan seseorang yang gue sukai apalagi gue cintai lagi."

"Semua udah habis."

"Perasaan gue buat lo udah gak ada, gak ada dengan berjalannya waktu waktu 6 tahun gue ngejar lo yang terus menyadarkan gue bahwa memang kita gak pantas bersama. Selama enam tahun gue ngejar lo, selama enam tahun lo nyakitin gue, selama enam tahun gue maafin lo. Selama itu pula... perasaan yang gue miliki buat lo memudar."

Deg!

"Setelah gue pikir-pikir, bukan gue tapi lo. Lo yang gak pantes buat gue." Ona sengaja menghujamnya dengan kata kata menusuk dan agar Angkasa tak menyelanya lagi.

"Cowok brengsek gak pantes mendapatkan cewek sebaik gue, right?"Lo terlalu brengsek buat gue yang na'if.

Dia ingin agar cowok itu berhenti mengklaim kalau dirinya akan senantiasa mencintainya. Dia membenci omong kosong itu. Baginya, perasaan itu sudah tertelan waktu terasa menghambar dan memudar.

"Gue minta maaf atas semua hal yang gue perbuat. Tolong jauhin gue dan jangan ganggu gue lagi. Gue risih berada di dekat lo. Lo hanya bisa kasih gue penyakit Ang."

"Gak ada yang namanya penyembuh... dari seseorang yang disebut luka."

Ona meninggalkannya. Tidak, dia tidak mau mendengar maaf lagi, dia tidak mau memaafkannya lagi. Dia tidak mau terluka seperti dulu lagi. Dia ingin berhenti, berhenti pada cinta sepihak nya selama enam tahun ini. Dia ingin berhenti memiliki label teman itu lagi.

Gue ingin berhenti melihat lo lagi!

Sekejab dia langsung seperti orang lain yang berbeda. Akhirnya... akhirnya penderitaan lo dimulai Ang. HA... HAHAHAHAHA. AHAHAHAHHA!!















To be continued

ONA (COMPLETED}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang