Prolog

146K 4.1K 48
                                    

Pagi telah berhasil mengalahkan malam. Cahaya matahari mulai memasuki celah-celah tirai keemasan yang menggantung pada jendela. Nampaknya sang surya tak puas menyelinap, ia bahkan berusaha menyentuh seorang wanita yang masih bergelung dalam selimut tebalnya. Usahanya telah membuat sang wanita tersadar dan perlahan membuka kelopak matanya. Wanita yang sudah terbangun itu langsung tersenyum saat melihat sesuatu di langit-langit kamarnya.

"Damian Xavier Bosseli!" teriaknya lalu bangkit berdiri di atas tempat tidurnya.

Tangannya menyentuh poster bergambar seorang pria berambut kecokelatan. Sebuah kemeja putih berlengan panjang membalut tubuh kekar pria dalam poster itu. "Pagi, suami masa depanku!" ujarnya yang masih betah menengadah.

Orang yang melihatnya pasti akan mengira ia gila karena berbicara dengan selembar foto yang tak hidup, tapi wanita itu tidak pernah memedulikannya. "Aku yakin cinta kita akan menyatu suatu saat nanti. Ya, suatu saat nanti."

Kalimat itulah yang menjadi landasan perasaan cintanya. Memang terdengar tak masuk akal, ia pun kadang merasa aneh dengan dirinya sendiri. Akan tetapi ia tidak bisa menampik kenyataan bahwa rasa cintanya kepada pria dalam poster itu semakin dalam setiap harinya. Pernah satu kali ia berusaha mencintai pria lain, namun usahanya itu sama sekali tidak membuahkan hasil yang baik. Ia malah semakin menderita karena melakukan hal yang menentang hatinya sendiri.

"Ya, Tuhan! Kamu ngapain berdiri di tempat tidur? Jangan bilang kalau kamu mau ngerusak tempat tidur lagi. Kamu gak ada bosen-bosennya apa jadi perusak tempat tidur, Ariana Alexis Skyler?" omel seorang wanita paruh baya seraya bertolak pinggang. Awalnya wanita dengan berbalut daster biru tua itu hanya berniat membangunkan sang pemilik kamar, tetapi pemandangan di hadapannya membuat ia tak sanggup menahan keinginannya untuk marah.

Ariana segera melompat turun dari ranjangnya. Dengan satu langkah besar, ia berhasil memeluk wanita paruh baya itu. "Biasa, Ariana kan harus menyapa calon suami dulu, Ma," balas Ariana membuat Agnes — ibu kandung Ariana — merasa frustasi dengan perilaku anaknya yang tak pernah membaik sejak sepuluh tahun yang lalu.

"Kamu ini kok sakit gak sembuh-sembuh sih, Ana?" Agnes berpura-pura merasa pening dengan memijat  bagian pelipis kepalanya. "Harus berapa lama lagi mama sabar dengerin khayalan kamu itu? Udahlah sama Rafael aja, kalau mau mama nikahin kalian sekarang juga."

Ariana malah tertawa mendengar perkataan tajam mamanya. "Namanya juga cinta, ibarat lagi makan permen karet, manis diawal tapi kalau ketelen bisa mengakibatkan kematian. Tapi mama bisa tenang, Ariana gak akan mati karena cinta. Tapi jangan nikahin Ariana sama Rafael ya. Ariana cinta sama Damian, nanti Ariana mati kalau gak sama Damian."

"Ternyata anakku sudah depresi berat, kenapa cobaanku berat sekali?" tutur Agnes tambah frustasi. Ternyata tak hanya urusan dapur yang membuat kepalanya terasa pusing pagi ini, anaknya pun turut mengambil bagian.

"Ariana gak depresi kok, Ma. Kalau Ariana gila nih, pasti sekarang Ariana  lagi lompat-lompatan di kasur. Mama mau Ariana lompat-lompatan di kasur?" Ariana berusaha menggoda Agnes. Agnes memang sedikit sensitif jika membahas tentang kasur.

"Kamu udah merusak 49 kasur, Ana! Pokoknya kalau sampai kamu merusak satu kasur lagi, mama arak kamu keliling kompleks." Agnes berusaha mencubit lengan anaknya, tapi Ariana berhasil menghindar dengan baik.

"Ariana mandi dulu ya, Mama. Love you so much!" Ariana mengambil langkah seribu agar terhindar dari amukan Agnes. Lagipula ia harus bersiap ke kampus.

Jujur, ia sedikit benci walau hanya sekedar memikirkan kata 'kampus' dalam benaknya. Tempat itu sudah seperti markas para mahasiswa yang haus akan berita panas dan senang merendahkan orang lain. Tetapi bukan Ariana namanya jika ia menyerah, ia sudah bertekat akan menyelesaikan kuliahnya dengan baik dan keluar dari tempat itu secepatnya. Secepat yang ia bisa.

DamiAna [COMPLETED]Where stories live. Discover now