CHAPTER 6

306K 7.2K 324
                                    

🔲Happy Reading🔳

Jonathan menaiki bukit dengan susah payah. "Hah...hah...kamu sudah gila Jonathan," rutuknya sambil memukul-mukul dadanya sendiri. Napasnya benar-benar menipis hanya karena anak bukit ini. Jonathan meneruskan langkahnya sampai tiba di atas. Ia mengatur napasnya yang tersengal agar kembali normal. Setelah itu, matanya mulai berpendar mencari sosok yang ia cari.

"Rupanya disitu." Jonathan menemukan pelacurnya. Ia menyipitkan matanya, ingin mengetahui apa yang dilakukan Hana. Tidak ada. Wanita itu hanya duduk bersender pada pohon besar di samping sambil menatap ke arah utara, dimana lokasi proyek Jonathan berada.

Jonathan berjalan mendekat, mungkin bunyi injakan kakinya yang terdengar agak nyaring, sehingga Hana secara refleks memutar kepalanya dan menatap Jonathan.

Hana membulatkan matanya, "Pak Jonathan?" ia segera berdiri sambil membersihkan belakang roknya yang kotor.

Jonathan membuang napas kasar. "Susah sekali menemuimu. Kamu tahu perjuanganku dari pesawat sampai kemari bagaimana? Di dalam pesawat, aku harus bertengkar dengan para petugas karena memaksa ingin turun. Lalu dari bandara ke desa membutuhkan waktu lima jam. Dari desa ke rumahmu, aku harus menunggu ibumu pulang dari pasar agar mendapatkan informasi keberadaanmu. Ia memberitahuku bahwa kamu ada disini. Aku harus meminjam motor anak buahku demi menembus satu setengah jam perjalanan di jalan yang sempit itu agar bisa kemari. Lalu gilanya lagi, aku harus berjalan kaki selama 30 menit agar bisa naik ke atas sini. Bukankah ini gila?" tanya Jonathan miris.

Hana memasang wajah heran. Untuk apa Jonathan melakukan semua itu?

"Aku merasa sangat menyedihkan. Melakukan semua hal gila ini hanya demi seorang pelacur ingusan." Jonathan melempar wajahnya ke samping. Berharap waktu dapat di ulang kembali, seandainya ia tidak senekat ini, mungkin dua jam yang lalu ia sudah menginjakkan kakinya di Jakarta.

Tidak ada yang berbicara selanjutnya selain suara angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah keduanya dan rambut yang saling beterbangan karena tiupan angin.

Sambil berkacak pinggang, Jonathan kembali menatap Hana. "Ikutlah denganku ke Kota." ucapnya kemudian lalu disusul perasaan malu. Jonathan ingin menelan kembali kata-katanya. Tapi...sudahlah. Semuanya sudah terlanjur terjadi dan ia sudah berbuat sejauh ini.

Hana membelalakkan matanya, "Ko-kota?"

***

"Hana, apa kamu yakin dengan keputusanmu ini?" Fatma meremas jarinya. Satu jam yang lalu ia kembali ke rumah bersama Jonathan. Tiada angin tiada badai, Hana tiba-tiba mengatakan ingin pergi ke Kota.

Hana mengikat plastik merah itu lalu berdiri. Ia menghela napas, "Iya, bu. Aku ingin mencari pengalaman di sana."

Fatma meringis, "Benarkah? Kamu tidak dipaksa oleh pak Jonathan bukan?"

Hana membelalakkan matanya dan menutup mulut Fatma dengan jari telunjuk, "Stt.. Jangan keras-keras. Dia ada di depan. Bagaimana jika ia mendengar?" ucap Hana. "Aku tidak pergi karena dipaksa olehnya, bu. Ibu tahu, kan? Setelah dari atas bukit aku pasti akan mendepatkan ilham. Dan setelah dipikir-pikir, sepertinya aku harus pergi ke kota itu untuk mengadu nasib. Kebetulan pak Jonathan akan ke sana, jadi aku pikir akan lebih baik untuk ikut pergi bersamanya."

"Tapi—"

"Aku akan berjuang di sana, ibu." ucap Hana. Ia memeluk tubuh Fatma, Diam-diam air matanya mengalir keluar membasahi pipinya. Bohong. Semua ucapan Hana sebelumnya itu adalah bohong.

"Tapi pak..saya tidak..saya tidak bisa." Hana menggeleng.

Jonathan melotot dan menggeram, "Berani-beraninya kamu menolak saya?! Apa kamu tidak ingat? Hidup keluargamu berada di tangan saya. Saya bisa saja menyuruh anak buah saya untuk memporak-porandakan rumah kalian beserta isi-isinya."

The Victim (End ✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang