CHAPTER 20

173K 6.3K 420
                                    

Happy Reading

Hana berlari kembali ke kamarnya setelah tak tahan mendengar apa yang dikatakan Catherine. Tubuhnya yang lemah merosot jatuh ke lantai. Air mata yang sedari tadi ditahan-tahan kini tak sanggup lagi dibendung. Hana menangis hebat dibalik pintu kamarnya. Rasa nyeri menyerang ulu hatinya. Setelah Vanesha menghinanya, sekarang Catherine yang ia anggap sebagai Dewi kebaikan ternyata ikut merendahkannya.

Hana tak kuat lagi. Hatinya terasa seperti dicabik-cabik oleh pisau yang sangat tajam. Tak ada yang bisa dipercaya di sini. Hana merindukan ibunya dan Windy. Hanya mereka yang mencintai dan menyayanginya dengan tulus.

Hana segera bangkit dan berjalan ke arah meja. Ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja tersebut lalu duduk di tepi kasur. Hana menelfon ibunya. Setelah beberapa saat, terdengar suara Fatma di seberang sana.

"Halo, Hana? Ada apa menelpon malam-malam begini?"

"Ibu.."

"Iya?"

"Aku merindukanmu." Hana berusaha agar isakannya tak terdengar oleh ibunya.

"Iya, ibu juga rindu dengamu. Apa kamu diperlakukan dengan baik oleh orang-orang di sana?"

Hana meremas ponselnya dengan perasaan teriris-iris. "Baik...mereka sangat baik terhadapku..."

"Hana? Kenapa suaramu bergetar? Apa ada masalah? Ceritakan kepada ibu."

Hana menggigit bibirnya, berusaha menetralkan suaranya agar tidak terdengar seperti seseorang yang sedang menangis. Ia berdeham sejenak lalu tersenyum pahit. "Aku baik-baik saja, bu. Tidak ada masalah serius. Aku hanya terlalu rindu dengan suara ibu makanya menangis."

"Oh begitu..ibu kira kamu sedang tertimpa masalah. Ibu jadi khawatir. Kalau ada sesuatu yang membuatmu sedih, ceritakanlah. Jangan dipendam sendirian."

Hana menyeka air matanya lalu mengangguk. "Iya, aku akan bercerita kepada ibu jika ada masalah. Kalau begitu, aku matikan dulu ya telfonnya."

"Iya."

"Selamat malam."

"Selamat malam juga, anakku."

Hana mematikan sambungan lalu kembali menangis tersedu-sedu.

Ibu, aku ingin bercerita..namun aku tahu, ibu hanya akan terluka jika mendengarnya.

***

Pagi itu, Hana berjalan menuruni anak tangga dengan langkah pelan. Ia sangat lapar dan aroma masakan yang berasal dari dapur sungguh menggoda indra penciumannya. Saat Hana baru memasuki dapur, alangkah terkejutnya ia saat bertemu dengan Jonathan yang tengah sibuk menyiapkan sarapan.

Hana menghela napas panjang, ia segera berbalik dan hendak beranjak dari dapur, namun suara berat Jonathan tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Mau kemana? Ayo sarapan dulu."

Hana membalikkan tubuhnya dan menatap Jonathan. "Aku tidak lapar."

"Kamu memang tidak lapar, tapi anakku membutuhkan asupan gizi yang cukup!" balas Jonathan sarkastis.

Hana mendengkus lalu berjalan ke arah meja makan dengan wajah bengisnya. Ia segera mendaratkan bokongnya di kursi dan menatap sarapannya. Hanya roti isi selai kacang dengan segelas susu. "Hanya ini?" tanya Hana heran. Bagaimana ia tidak heran, ia pikir Jonathan akan menyajikan makanan yang ia masak di atas wajan itu kepadanya, nyatanya yang tersaji hanyalah makanan seperti ini.

"Makan saja apa yang telah ku buat dengan susah payah." ucap Jonathan dengan nada tidak santai.

"Lalu yang kamu masak itu?"

The Victim (End ✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang