Part 20

7.6K 253 27
                                    


Bonus pict Iqbaal
Ada yang minta foto tokoh yang lain ga?
Kalau ada typo tandain ya....
💐Happy Reading💐




Iqbaal tersenyum sendiri saat membayangkan wajah Salsha. Gadis itu selalu saja muncul di pikirannya, mungkin dia sedang tidak ada kerjaan jadi berkeliaran di pikirannya sejak tadi. Sedari tadi Iqbaal telah mengusirnya dengan menggantikan Salsha dengan rumus matematika yang membuat semua penghuni kelasnya angkat tangan karena susah. Tapi Iqbaal hanya membutuhkan waktu 5 menit untuk mengerjakannya, membuat ia harus kembali mengingat Salsha.

"Baal, lo kenapa?" tanya Kiki yang dari tadi bingung melihat Iqbaal yang senyum-senyum tidak jelas.

"Hah?" Iqbaal bingung. Perasaannya ia baik-baik saja, malah lebih dari baik-baik saja. Buktinya ia lebih banyak tersenyum hari ini.

"Lo kenapa senyum-senyum gak jelas?" tanya Kiki lagi.

Iqbaal tersentak, ternyata sedari tadi ada yang memerhatikan dirinya. Jika seperti ini Iqbaal yakin, orang tersebut akan sangat penasaran. Ia hanya menghembuskan nafasnya kasar, malas menanggapi pertanyaan teman dekatnya itu.

"Woy! ditanyaain malah diem aja." Kiki mendengus, sabar menghadapi tingkah Iqbaal yang kadang kelewat batas diemnya.

"Alah paling juga mikirin Salsha,"kata Aldi santai sambil menyalin catatan di papan tulis yang tadi ditulis oleh guru yang kini tengah menjelaskan materi yang membuat Aldi menguap tak henti-henti.

Iqbaal menatap Aldi tajam, tapi yang ditatap bersikap tidak perduli dan memilih meletakkan kepalanya di atas tas sekolahnya. Aldi sangat mengantuk, belajar matematika membuat matanya ingin segera terpejam. Kiki yang melihat Iqbaal menatap tajam Aldi hanya tersenyum sinis. Dan langsung membetulkan apa yang diucapkan Aldi.

"Jujur aja Baal," ucap Aldi dengan mata yang sudah terpejam.

Iqbaal hanya mendengus, dan kembali menatap ke papan tulis. Memperhatikan apa yang ditulis oleh gurunya. Sebagai calon ketua osis yang terbaik, Iqbaal harus bersikap baik.

Bel istirahat akhirnya berbunyi, Iqbaal segera beridiri dan segera pergi dari kelasnya. Bahkan Iqbaal mengabaikan kedua temannya yang menatap kepergiannya dengan tatapan datar.

"Yang bentar lagi jadi bucin," celetuk Aldi yang dibalas kekehan kecil dari Kiki.

"Udah lah, mending ke kantin!" ajak Kiki yang diangguki oleh Aldi.

Iqbaal sudah sampai di depan kelas Salsha. Kelasnya bersebelahan, hanya memerlukan waktu beberapa menit Iqbaal sudah sampai di hadapan Salsha yang tengah membaca buku, yang Iqbaal yakini sebuah novel. Iqbaal melirik keseluruh penjuru kelas, hanya ada tiga orang termasuk Salsha. Dan dapat dilihat bahwa mereka bukanlah orang-orang yang suka ikut campur urusan orang lain. Lebih tepatnya, mereka lebih suka membaca buku yang tebalnya seperti kamus Bahasa Inggris, Indonesia, dan Arab.

Salsha masih belum menyadari kehadiran Iqbaal di depannya, yang kini tengah memerhatikan Salsha dengan lekat. Kedua bola mata Iqbaal tak lepas dari mata Salsha yang tengah sibuk melihat kata demi kata yang ada di dalam novel yang dia baca.

Iqbaal duduk di kursi yang ada di depan meja Salsha. Duduk diam memerhatikan seseorang yang membuatnya tidak tenang sejak tadi. Ia tidak pernah merasakan ini sebelumnya, baru kali ini rasa itu muncul setelah sekian lama. Memiliki teman yang mungkin akan setia dengannya. Mungkin saja, tapi sejujurmya Iqbaal tidak percaya pertemanan akan bertahan lama. Apalagi saat ada yang berbicara "kita sahabatan sampai kapanpun, meskipun hujan, badai ataupun jarak seluas asia tenggara kita akan tetap bersama!" itu terlalu lebay menurut Iqbaal.

Bahkan hingga kini Iqbaal masih menanggap Kiki dan Aldi itu teman bukan sahabat. Terlalu sakit dikecewakan membuat Iqbaal tidak percaya lagi arti persahabatan. Semua yang ia kenal hanyalah teman, tidak lebih. Jika yang lain lebih suka menghabiskan waktu dengan sahabat atau teman, maka Iqbaal memilih pergi sendiri dari pada ikut dengan mereka yang hanya memikirkan diri sendiri.

Pernah Kiki dan Aldi marah karena Iqbaal tak menganggap mereka sahabat, tapi keduanya akhirnya mengerti mengapa Iqbaal tidak menganggapnya sahabat. Toh, status tidak penting. Yang penting itu bagaimana hubungannya. Baik atau tidak? saling mengerti atau tidak? Status bukan ukuran sayang seseorang kepada kita ataupun bentuk spesial kita di mata mereka. Ingat! spesial menurut orang berbeda-beda.

Salsha yang merasa ada yang memerhatikan menatap ke arah papan tulis. Tapi bukannya menemukan papan tulis putih, ia malah menemukan wajah putih bersih milik Iqbaal. Salsha sedikit terkejut, hampir saja Salsha melempar Iqbaal dengan novel tebal dengan 500 halaman. Tapi Salsha ingat, ia baru saja membelinya minggu kemarin dan tidak mungkin novel itu ia lempar begitu saja. Salhsa bukan anak sultan ataupun komandan, ia hanya anak dari pengusaha yang jarang pulang.

"Kenapa lo di sini?" tanya Salsha dengan menatap Iqbaal penuh selidik.

"Nepatin janji lah," jawab Iqbaal santai dan merebut novel Salsha dan mulai membacanya dari awal. Membuat Salsha membulatkan matanya, karena dia tidak ingat halaman berapa ia terakhir kali membaca novel itu.

"Iqbaal! itu tadi halaman berapa? asal ambil aja!" bentak Salsha tak terima. Manamungkin ia akan mengulang dari pertama, tidak seru namanya.

"Halaman 357," jawab Iqbaal tanpa menatap wajah Salsha yang kini tengah berubah merah menahan amarah.

"Sok tahu!" Iqbaal hanya mengangkat bahunya tak acuh. Tidak percaya ya sudah, Iqbaal tidak akan rugi.

Diam-diam Salsha mencatat halaman yang diberitahu Iqbaal tadi, mungkin saja apa yang dikatakan Iqbaal benar. Tapi Salsha masih berpikir, maksudnya menepati janji itu apa? Salsha bahkan lupa pembicaraan terakhirnya dengan Iqbaal tentang apa. Salsha hanya mengingat kejadian tadi pagi saat mendapati motor Iqbaal di depan rumahnya. Lalu Salsha yang meninggalkan motor itu sendirian tanpa ada niat mencari tahu siapa pemiliknya.

Salsha mengangkat bahunya tidak peduli, tidak ada gunanya juga. Lebih baik ia membicarakan hal yang sudah lama ingin ia ungkapkan, namun selalu tertahan. Kali ini ia harus bisa menyelesaikan semua masalah ini, agar tidak menjadi beban di hidup Salsha.

"Baal gue mau ngomong," kata Salsha memulai pembicaraan.

"Hm," Iqbaal hanya berdehem menanggapi ucapan Salsha.

"Gue kayaknya gak bisa jadi wakil ketos, "

Iqbaal menghentikan aksi membaca novel Salsha, dan mengalihkan pandangan ke sampingnya. Mengangkat sebelah alisnya seolah bertanya "kenapa?". Salsha menghembuskan nafasnya kasar, dan menatap kedua tangannya yang saling bertautan di atas meja.

"Gue ngerasa gak pantes, mending ganti sama yang lain aja." Tatapan mata Salsha menyorotkan bahwa ada beban tersendiri saat mengucapkan kata-kata itu. Iqbaal jadi merasa penasaran apa sebenarnya yang terjadi.

"Gak," jawab Iqbaal singkat.

"Tapi baal, gue-" ucapan Salsha terpotong saat Iqbaal lebih dulu mengucapkan kata yang membuat Salsha gelisah.

"Kalau enggak, ya enggak. Gak denger?" Salsha tertegun, baru kali ini ia di tatap setajam itu oleh Iqbaal. Hal itu membuat Salsha ngeri sendiri.

Iqbaal menutup novel Salsha, dan menaruhnnya di atas meja. Lalu berdiri dan meninggalkan Salsha di kelas. Iqbaal merasa kecewa, sebentar lagi hari pelantikan mereka menjadi Ketua OSIS dan Wakil Ketua. Tapi Salsha malah mau mundur dari itu secara tiba-tiba. Mungkin itu alasan Salsha selalu telat ikut rapat OSIS. Iqbaal mengacak rambutnya kesal, bagaimanapun Salsha tidak boleh mundur.













Bersambung.........









An: Holaaa!
Aku kembali dengan sedikit cepat:v
Otak lagi encer, hehe.

Makasih yang udah mau baca:')
Jangan lupa Vote and Comment💫

Makasihhh💐

FRIENDZONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang