Empat

243 45 15
                                    

Katanya dunia lebih dari satu planet, dan bumi begitu luas. Tetapi entah mengapa aku selalu menunggu kehadiranmu, menunggu senyum manismu yang selalu menjadi candu.

☼☼☼

Happy Reading!

Lingga memejamkan matanya, tubuhnya terasa lelah, ia terlentang di atas tempat tidur milik Jingga. Jangan tanyakan lagi apa hubungan keduanya. Mereka hanya sebatas tetangga dan sahabat, tidak lebih ataupun kurang, juga tidak bisa ditawar.

Muhammad Lingga Ananta, atau bisa disebut Lingga, cowok itu selalu merecoki Jingga. Keduanya sangat akrab, karena tumbuh bersama sejak kecil. Mereka juga satu sekolah hanya saja beda kelas. Lingga di IPA sementara Jingga di Bahasa. Lingga termasuk cowok yang memiliki otak cerdas, ia selalu menjadi juara dalam ajang apapun. Seolah Lingga diciptakan tanpa memiliki cela sedikit pun.

“Lingga, beresin dulu buku-buku lo, kamar gue jadi berantakan!” geram gadis itu. Ia meraih beberapa kertas HVS, juga buku pelajaran milik cowok itu yang berserakan. Gadis itu merapikannya.

Cowok itu membuka matanya sebentar, lalu memejamkan lagi. “Lo merintah gue, tapi udah lo beresin juga kan, ujung-ujungnya.”

Iya, Jingga yang memerintah, tapi dia juga yang melakukan.

“Just hit, the road! Sana pulang, lo juga punya rumah,” usir gadis itu setelah selesai membereskan buku pelajaran milik Lingga.

“Ntar dulu, gue mau numpang ngadem,” katanya asal, tak peduli dengan gadis yang kepalanya sudah mengeluarkan asap jika di gambarkan seperti pada komik.

Jingga meraih buku Meniti Bianglala karya Mitch Albom yang tebalnya 208 halaman, ia lempar buku itu dan mengenai wajah Lingga. Lihat saja, cowok itu langsung bangun dan wajahnya yang terlihat merengut.

Hah! Biar tahu rasa! 208 halaman belum seberapa, Jingga masih baik hati tidak melempar buku yang lebih tebal dari itu. Kalau cowok itu resek, siap-siap saja, kamus bahasa Jepang dan kamus bahasa Indonesia, yang tebalnya minta ampun itu segera melayang di wajah imut cowok itu.

“Keterlaluan, lo. Ini aset gue ya, kalau lecet gimana!” hardik cowok itu.

Gadis itu malah menaikkan alisnya. “Ya, nggak gimana-gimana. Emang mau gimana? Lecet ya, lecet aja sih. Sekarang ada perawatan wajah, muka lo jelek bisa dipermak. Beres, kan?” balas gadis itu dengan santai.

Masih berani dan bisa-bisanya gadis itu menjawab seperti itu. Lingga membuang muka. Ia sudah malas untuk berdebat dengan gadis itu.

“Enteng banget mulut lo.” Lingga mengembuskan napas. Ia bersedekap. “Sebagai gantinya, karena lo hampir buat wajah gue jelek, sana gih buatin cokelat hangat sama bawain brownis. Semangkanya sekalian, jangan lupa,” perintah cowok itu, ia tak menerima penolakan.

“Enak aja suruh-suruh!” tolaknya, gadis itu sudah melotot.

“Ayo dong, nanti sebagai bonusnya gue salamin ke Senja. Mau salam apa? Salam rindu? Salam sejahtera? Salamat malam?”

Benar-benar nggak ada akhlak ya, Lingga ini. Jingga pengin lempar kamus bahasa Jepang ke wajah cowok itu.

“Apaan sih, garing banget.” Gadis itu bangkit, keluar dari kamarnya, meninggalkan Lingga yang terus meneriaki namanya.

Kombinasi | New VersionWhere stories live. Discover now