Sembilan

181 31 6
                                    

Happy Reading!

“Gue harus apa nih? Dari semalam, belajar hiragana gue nggak bisa-bisa, anjay.”

Bukan hanya Aura yang kalang kabut belajar hiragana, anak Bahasa lainnya juga mengalami seperti itu.

“Za ji zu ze zo. Da ji zu de do. Ba bi bu be bo. Pa pi pu pe po. Gya ... ” Isha menulis hiragana dan menghafal dengan suara lantang, menambah kebisingan yang ada. “Ah, lanjutannya apa anjing!” Ia membuka lagi buku catatan miliknya.

“Anjing, lima menit lagi masuk!” Dari tempat duduknya, Anggia terlihat banyak mengumpat. Gadis itu dengan cepat menulis huruf hiragana pada mejanya. Tak ada pilihan lain, jika tiba-tiba ia lupa beberapa huruf dan ia bisa mencontek di meja.

Kebanyakan anak 12 Bahasa membuat contekan yang ditulis di meja masing-masing. Alih-alih membuat contekan di kertas, mereka takut kalau ketahuan Nana Sensei. Kalau di meja, tingkat ketahuannya empat puluh persen.

Begitu dengan Jingga yang sama pusingnya. Semalam ia sudah menghafal semua huruf hiragana, akan tetapi ia takut jika tiba-tiba ingatannya putus di tengah samudera. Gadis itu mengatupkan bibir, bergerak sama gelisahnya dengan yang lain. Ia melirik Aura yang mencontek di meja juga. “Duh, gue jadi pengin nyontek juga. Tapi kalau ketahuan gimana dong?” Dewi batinnya bermonolog, otak dan hatinya berdebat. Memejamkan mata, Jingga berusaha untuk fokus. “Oh, tough luck.” Ada seratus empat hiragana yang harus dihafal, kepala Jingga mau meledak sekarang juga.

“Beb, awasin ya, jaga-jaga kalau Nana Sensei tiba-tiba muncul.” Aura masih sibuk mencontek, gadis itu rupanya lelah untuk menghafal lagi.

Jingga hanya membalas dengan gumaman. Ia mendesah, menghela napas panjang dan membuang perlahan. Ditatapnya sekali lagi lima kertas HVS yang ada di mejanya, berisi tulisan hiragan hasil belajar dari semalam. “Tenang. Ini cuma ulangan, bukan ketemu ajal Tuhan.” Hiburnya dalam hati. “Tapi kan, minggu kemarin Nana Sensei bilang kalau nggak bisa dapat nilai seratus, harus ngulang lagi meski nilainya udah KKM. Auh, gimana dong?” Gadis itu menyemangati dirinya sendiri, tapi di sisi lain ia juga menakut-nakuti dirinya sendiri.

Berbeda lagi di bangku Senja dan Alan. Senja yang berisik banget karena caranya menghafal harus sambil beebicara sambil menulis. Sedangkan Alan udah nggak kuat lagi, ia menidurkan kepalanya di atas meja.

“Sumpah, lo bisa diem nggak?” Rupanya Alan sudah tak tahan lagi dengan Senja yang masih saja berisik menghafal.

“Ck. Mana bisa! Gue kan lagi hafalan sama belajar,” balas cowok itu, lalu kembali menghafal sambil menulis.

Alan jadi gemas. Ia berkata lagi penuh penekanan. “Aish, jinjja. Ya kan sambil ngebatin bisa.” Sebab, dari tadi ia ingin menghafal tetapi karena Senja berisiknya kebangetan ia tak bisa fokus. “Kalau gue nggak bisa ngerjain dan otak gue jaringannya jelek, lo harus tanggung jawab. Pokoknya kasih contekan.”

Cowok itu mengatupkan bibir, lantas melirik sinis ke arah Alan. “Ogah banget. Makanya belajar, dari tadi goleran mulu. Mana bacot lagi.”

Ia menegakkan tubuhnya, kini tak lagi goleran. “Heh! Lo yang mulai duluan. Kalau lo nggak berisik, gue nggak banyak bacot,” ujarnya.

Tak lama kemudian Nana Sensei memasuki ruang kelas, seperti biasa anak-anak memberi hormat terlebih dahulu.

“Kirtsu.”

“Rei.”

Ketua kelas membei aba-aba untuk memberi hormat. Lantas dengan serempak anak 12 Bahasa berdiri dan mengucap salam.

“Ohayou gozaimasu,” ujar mereka serempak.

“Ohayou gozaimasu.” Setelah Nana Sensei menjawab, sambil membunggukkan badan sedikit, ketua kelas mengintrupsi anak 12 Bahasa untuk duduk kembali.

Kombinasi | New VersionWhere stories live. Discover now