Empat Puluh Sembilan

153 24 19
                                    

Happy Reading!

“Mahal banget buset,” komentar  Sita—murid 12 IPA 6 yang  duduk di samping gadis dengan nama akhir Naira.

Ara mengangguk membenarkan. “Gue aja nggak bakal ikut kok.”

Salah satu agenda kali ini yaitu pembahasan perihal buku tahunan. Sudah satu jam lebih di depan sana ada Isha  dan Kak Alex—sang fotografer yang  nantinya akan membantu membuat buku tahunan. Kak Alex menjelaskan detail foto seperti apa, kualitas buku, bahan pembuatan buku dan lain sebagainya. Kak Alex pun juga  memberi tiga sample buku tahunan dengan harga berbeda.

“Nih, kalau  mau lihat dulu.” Kak Alex memberikan tiga buku tahunan pada murid Panorama untuk dilihat secara jelas bagaimana detailnya buku tersebut.

“Heh, Wi, Siwi. Gue mau lihat dong.” Ara menyolek bahu teman sekelasnya yang duduk di depan gadis itu. Jingga yang melihat hanya menggatupkan bibir.

Siwi memberikan buku tahunan itu. “Nih. Lo mau bikin nggak?”

“Nggak tahu, lihat nanti,” jawab Sita yang masih ragu-ragu. Padahal tadi bisik-bisik dengan Ara tak mau membuat buku tahunan.

“Gila, cuma gini. Kata gue nggak sepadan sama harganya sih,” nyinyir Ara seperti netizen, apa- apa dikomentarin.

“Tuh kan, Ra. Dibilang juga  masih bagusan punya angkatan atas dulu,” sambung Sita.

“Lo berdua komen mulu gue denger-denger.” Aura yang  duduknya di sebelah kiri Jingga angkat suara.

“Ya gimana ya ...” jawab Ara tanpa melanjutkan perkataannya. “Lo berdua pada mau bikin nggak?” tanyanya yang ditujukan oleh Jingga dan Aura.

“Nggak tahu. Masih bingung.” Jingga menjawab singkat.

“Gue nggak ada duit sih.” Aura mengedikkan bahu. “Tiga ratus lebih kan tadi bilangnya.”

“Hm. Anak-anak pada setuju yang harga segitu,” tukas Sita.

“Tiga ratus lebih tapi entar tiba-tiba ada biaya tambahan lagi.”  Jingga mengeluarkan opininya.

“Bisa jadi,” lanjut Ara. “Anak IPA kebanyakan nggak bakal ikut, tiap kelas nggak ikut semua. Ya soalnya dari awal kita udah tahu bakal kayak apa. Paling yang ikut tuh anak-anak hits atau kenalannya anak Bahasa. Kalau anak IPS pasti ikut semua.”

Aura menaikkan alisnya, ia berceletuk, “Dih, cenayang lo?”

“Nggak, tapi nyatanya gitu. Gue denger kemarin anak-anak pada ngomongin ini.”

“Jadi kalian berdua fix nggak ikut?” tanya Jingga memastikan

“Nggak lah. Buat apa coba? Tahu sih, buat kenang-kenangan, tapi kita udah terlanjur nggak suka  duluan,” balas Sita berbisik. Mereka berempat merapat, agar anak-anak yang lain tak mendengar percakapan mereka.

Mending duitnya buat bayar daftar tes SBM,” imbuh Ara.

“Kalau anak Bahasa gimana? Ikut semua lah ya?” Jingga dan Aura diam sesaat ketika pertanyaan dari Sita terlontar.

“Anak cowok ikutan semua. Kalau yang cewek kayak gue, Jingga, Aika, Jeni, Muti sama Kintan belum fix. Sebenarnya Aika udah fix kemarin, tapi kitanya belum. Kalau kita nggak ikut mungkin Aika tetap ikut nanti pas foto segeng dia sama Mila,” jelas Aura.

“Iya. Kalau Kintan waktu itu juga  tanya gue, mau ikut nggak. Gue kan masih bimbang, nah dia bakal ikut kalau gue ikut. Kalau nggak ya dia ngak,” tutur Jingga.

Kombinasi | New VersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang