Tiga Puluh Tujuh

88 15 1
                                    

Happy Reading!

"Jingga, ambilin piring!" teriakan pemuda Ananta itu membuat Jingga yang tadinya sedang memotong pangsit terhenti. Gadis itu lekas meraih piring di sebelahnya dan segera memberikannya pada Lingga.
"Tunggu bentar, lo bawa ke sana sekalian."

Jingga menunggu, ikut berdiri dekat pemanggang, bersama ayahnya, ayah Lingga dan tentu dengan Lingga. Mereka bertiga memang ditugaskan untuk memanggang daging, sosis, dan pangsit.

"Seharusnya biarkan Lingga yang bawa. Kamu jangan mau-mau saja disuruh, Jingga," ujar papa Lingga yang sibuk mengipasi sosis.

"Hehehe, nggak apa-apa, Om. Sekalian ..." jawab Jingga seadanya.

"Tuh, Jingga aja nggak keberatan. Papa aja yang suka berlebihan," sambar Lingga.

"Papa nggak berlebihan. Lagian di sini kamu nggak ngapa-ngapain. Yang kerja cuma Papa sama Ayahnya Jingga."

Memang benar, Lingga hanya berdiri meski sesekali ia bertugas membolak-balikkan sosis agar tidak gosong. Sebenarnya mereka menggunakan dua pemanggang, yang satu digunakan papanya dan satunya lagi digunakan untuk membakar daging oleh ayah Jingga yang ada di sebelahnya. Tugas membakar sudah dilakukan oleh kedua bapak-bapak. Dan kehadiran Lingga tidak terlalu dibutuhkan. Makanya, pemuda itu sesekali lebih memilih mencicipi sosis dan daging yang telah dibakar.

Gadis Naira itu kini duduk dengan alas tikar yang cukup lebar. Dihadapannya sudah ada beberapa menu yang matang. Dari seberang arah, Jingga melihat ibu dan tante Kia membawa dua teko kecil dan gelas. Kedua wanita setengah baya itu berjalan ke arah Jingga.
Jingga berdiri saat kedua wanita setengah baya itu sampai di dekatnya. Ia meraih nampan berisi gelas yang dibawa ibunya. "Sini, Bu." Ia meletakkan gelas-gelas itu di atas tikar.

"Makanannya udah selesai kamu tata?" tanya ibu.

"Udah, barusan selesai. Tapi masih ada yang dibakar." Selanjutnya, ia mengambil alih teko yang dibawa tante Kia. "Biar Jingga aja, Tante ..."

"Makasih, Jingga," ucap tante Kia.

Lantas, ketiga wanita itu duduk. Jingga sendiri duduk berlawanan arah dengan kedua wanita paruh baya itu. Jingga meraih teko kaca yang berisi sirup jeruk, menuangkan ke dalam gelas dan meminumnya. Gadis itu diam saat kedua wanita setengah baya itu sedang menumpahkan teh panas, mulai bergosip mengenai tetangga sebelah dan berakhir membicarakan bisnis. Jingga sendiri tak peduli dengan apa yang kedua wanita itu bicarakan, ia memilih membuka laman Instagram dan WhatsApp secara bergantian.

"Jingga, ayo sambil dimakan sosis atau dagingnya," ucap tante Kia sambil menyerahkan sepiring daging yang ada di depannya.

"Iya, Tante. Nanti Jingga makan."

"Makan aja. Nggak usah nunggu yang lain. Lagian Lingga sama Bapak-bapak pasti udah nyicip duluan," kata tante Kia lagi seraya melirik ke arah ketiga lelaki beda generasi itu yang masih memanggang.

"Pangsitnya belum matang kayaknya. Kamu tadi bilang pengin banget makan pangsit." Netra ibu bergulir menatap hidangan di hadapannya. "Makan dulu yang ada, tuh sosis atau daging," ucap ibu.

"Iya, Bu. Ini aku makan." Melihat tante Kia dan ibu yang sudah menyantap daging, Jingga ikut mengambil setusuk sosis. "Bu, tolong oper sambal kecapnya." Ibu pun mengulurkan sambal yang dimaksud Jingga pada putrinya itu.

Gadis Naira itu menikmati sosis bakar sambil menunduk, masih memainkan ponsel. Ia menonton instastory teman-temannya yang rata-rata isinya sama. Bosan menonton instastory ia beralih ke aplikasi WhatsApp, tidak ada yang menarik-tak ada pesan baru juga. WhatsApp Story isinya juga tak jauh beda dengan instastory. 'Happy New Year' begitu kalimat yang ia lihat pada foto maupun vidio di WhatsApp Story dan instastory. Memang ini belum dini hari, namun ucapan selamat tahun baru dan harapan-harapan sudah tersebar di media sosial.

Kombinasi | New VersionWhere stories live. Discover now