Dua Puluh Tiga

143 19 1
                                    

Happy Reading!

“Menurut lo ini bakal jadi dalam waktu dua jam?”

Kedua remaja itu berjalan menuju ruang seni, bersama teman sekelas mereka juga. Di tangan mereka membawa kain putih polos yang lebarnya kira-kira dua meter. Lalu, beberapa peniti dan satu kuas ukuran besar.

Gadis itu menatap sahabatnya, serasa pertanyaan itu diajukan untuknya ia menjawab, “Jadi. Lagian ini bukan batik tulis, tapi batik ciprat. Kita cuma celupin kain ke pewarna, terus jemur. Abis itu cipratin malam sesuai keinginan kita. Tadi Pak Bambang bilang prosesnya gak bakal lama, kan. Beda sama batik tulis, sehari mungkin kita cuma bisa ngecanting aja.”

Sesuai dengan namanya, cara membuat batik ini dilakukan dengan menciprat-cipratkan larutan malam pada kain. Keunggulan batik ini terletak pada motif, warna dan perpaduan unik yang ditampilkannya. Hasil batik ciprat yang abstrak justru memberi kesan unik dan mewah. Proses pembuatannya pun tergolong mudah daripada batik tulis. Dalam sekali buat, kita bisa membuat sepuluh helai batik ciprat. Proses pembuatan biasanya tiga hari, lalu bisa dijual.

“Iya, sih. Tapi nih, gue masih bingung nanti mau gue model gimana.” Aura menggandeng lengan Jingga. Hal ini sudah biasa, Aura suka melakukan psycal touch terhadap sahabatnya. Jika ditanya Jingga risih atau tidak, jawabannya tidak. Ia biasa saja. Berbeda dengan teman sekelas mereka, terlihat risih saat Aura suda bersikap seperti itu.

Mereka telah sampai di ruang seni. Pak Bambang sudah menyiapkan ember besar sebanyak dua buah yang sudah berisi cairan pewarna. Pewarna untuk kelas 12 Bahasa sendiri yaitu warna hijau dan cokelat muda. Ya, mulai dari 12 IPS 1 sampai IPS 4 dan 12 Bahasa warnanya semua berbeda.
Selain itu beliau juga sudah menyiapkan tambang dari rafia, di ikatkan pada pohon mahoni yang letaknya di samping ruang seni. Memang, di samping ruang seni dijuluki hutan sekolah. Sebab, banyak pohon besar dan teduh.

“Sebelum dicelupkan ke dalam pewarna, jangan lupa bagian ujung kain kasih nama dan kelas kalian terlebih dahulu menggunakan bolpoin. Biar nanti nggak ketukar sama punya temannya,” ujar beliau mengarahkan pada murid-muridnya.

Setelah dirasa penjelasan itu cukup dan tidak ada yang bertanya, pak Bambang menyiapkan barang lain. Seperti memanaskan malam.

Ketiga pemuda itu menghampiri Jingga, saat melihat gadis itu sudah selesai menulis di kain miliknya sendiri. Salah satu di antaranya menyerahkan kain pada Jingga dan berkata, “Jingga, tulisin punya gue! Vizcho, 12 Bahasa.” Gadis itu menerima kain tersebut dan mulai menulis nama pemuda itu.

“Vizcho! Sialan, lo. Gue dulu yang minta Jingga buat nulis nama gue, malah lo dulu,” gerutu Aura.

“Lo akhir aja,” balas Vizcho dengan acuh. “Lagian Jingga juga mau kok.”

“Punya gue sekalian dong, Aditya N, 12 Bahasa. Gue nggak bawa bolpoin soalnya.”

“Gue juga, tulis aja Yudha 12 Bahasa. Tolong ya, Jingga.”

“Makasih, Jingga!” ujar Vizcho.

Pun dengan kedua pemuda lain, Aditya dan Yudha juga mengucapkan kata terima kasih pada Jingga saat gadis itu sudah membantu mereka.

“Iya, sama-sama.”

Setelah beres memberi nama pada kain masing-masing, semua murid 12 Bahasa mencelupkan kain mereka ke dalam ember. Pak Bambang mengaduk aduk kain dan juga pewarna agar mencampur.

“Ini hijau ya, Pak, buat warna dasarnya?”

“Iya. Punya kelas kalian hijau. Nanti setelah dikasih malam, atau udah kalian pola motif cipratnya baru kira rendam sama warna cokelat muda,” ujar beliau menjelaskan. “Setiap kelas saya buat warna yang berbeda. Ini warna hijau bagus.” Pak Bambang masih mengaduk-aduk kain yang sudah tercampur cairan berisi pewarna. Beliau dibantu beberapa anak Bahasa lain untuk mengaduk ember satunya.

Kombinasi | New VersionWhere stories live. Discover now