Tujuh Belas

190 18 2
                                    

Happy Reading!

Jingga membawa buku gambar beserta pensil dan penghapus serta pensil warna. Gadis itu membuka pintu yang menghubungkan antara kamarnya dan balkon. Ia meletakkan barangnya dan kembali lagi ke kamar mengambil secangkir cokelat hangat yang menjadi minuman favoritnya.

Ia duduk pada salah satu kursi yang disediakan. Gadis itu membuka buku gambarnya, lalu diam dan menatap kertas kosong itu sebentar. Tadi, ia sudah mengirimkan jawaban Bahasa Indonesianya ke Alan. Mengirimkan jawaban Sastra Inggris ke Aura juga. Dan pasti, besok pagi ia akan dimintai jawabannya juga oleh teman kelasnya yang lain. Lagi-lagi ia menghela napas. Semua tugasnya sudah selesai, mungkin malam ini lebih baik ia menggambar saja—menghilangkan ruwetnya isi kepala.

Tangannya bergerak lincah di atas buku gambar, matanya terus fokus. Ada harapan dalam dirinya, semoga moodnya dalam keadaan baik dan gambar yang ia buat bisa selesai. Ia mulai menggambar sosok disebelah gadis yang sedang menatap angkasa, sosok laki-laki yang ikut duduk sambil memangku gitar.

Tak butuh waktu lama, akhirnya gambar itu hampir selesai. Pensil gambarnya berhenti mencoret-coret buku gambar. Gadis itu diam, menatap gambarnya. “Kok cowoknya Lingga, ya?” gumamnya. Tanpa sadar ia menggambar Lingga, pikiran bawah sadarnya ternyata tertuju pada Lingga. Dalam gambar itu terlihat seorang gadis dan laki-laki yang duduk lesehan. Sang gadis menatap langit malam dan sang laki-laki yang setia menemani si gadis sambil menyenandungkan lagu dengan gitar. Jingga mengusap wajahnya, setelah itu ia meraih cokelat panas yang dari tadi dianggurkan. Ia menyecap minuman itu, rasanya kini berubah dingin namun masih enak.

Saat ia ingin memegang pensil dan menyelesaikan gambarnya tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ada panggilan masuk, Senja Bahasa. Senja Aradhana teman sekelasnya.

Ada apa?

Mereka jarang bertukar pesan.
Cowok itu jarang menelpon, kalaupun iya bisa dihitung dengan jari. Senja lebih memilih mengirim pesan, itu pun juga bisa dihitung dengan jari.
Sedikit ragu namun akhirnya Jingga tetap mengangkat telepon itu.

“Ya?”

Dahi Jingga mengerut. Satu hal yang ia rasakan, hening. Di sana cukup lama diam, tak kunjung ada jawaban.

“Jingga.”

Hanya satu kata yang keluar dari bibirnya, membuat jantung Jingga berdegup kencang.
Hendak berbicara dan semoga suaranya terdengar biasa. “Kenapa?” tanyanya penasaran.
Namun lagi-lagi hanya diam. Gadis itu hanya mendengar deru napas teratur sang penelpon.

“Cowok ini apa kebanyakan pulsa?” Begitu pikir Jingga dalam hati.

“Nggak, gue cuma mau dengar suara lo aja. Gue matiin ya?” jawabnya tenang, kelewat santai.

Belum sempat menjawab, panggilan itu terputus sepihak. Dia meletakkan ponselnya kembali di atas meja, menggelengkan kepala perlahan dan tertawa kecil. “Ah, nggak jelas banget sih,” monolog gadis itu. Ia mengerucutkan bibir. “Tapi nggak jelas gitu aja gue suka. Ih! Senja!”

“Jingga!” Itu suara ibu. “Ada roti bakar di meja makan!” panggil ibu sedikit berteriak.

“Iya, bentar!” Gadis itu menutup buku gambar tanpa membereskan alat tulis. Ia berdiri, tak lupa menyambar ponsel.

Benar kata ibu tadi, ada roti bakar yang masih utuh. Sebab, bungkusnya masih rapi. Ia membuka bungkusnya, aroma semerbak roti bakar langsung menggelitik hidungnya. Rotinya sudah dipotong-potong dari sana, alhasil langsung saja Jingga mengambil roti tersebut.

“Habisin aja. Kalau nggak habis nanti masukin kulkas, tapi dingin sih. Atau kamu bawa ke kamarmu, dimakan sambil belajar,” tutur ibu yang sedang menata piring pada rak.

Kombinasi | New VersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang