Delapan

189 33 6
                                    

Happy Reading!

“Bisa nggak, ya?” Ia bergumam sambil menggigit kuku.

Ini hari sabtu, dan sekolah libur karena menganut sistem full day school yang hanya bersekolah lima hari. Sabtu sore, ia duduk di bangku meja belajar, menatap kertas di hadapannya yang telah berisi coret-coretan plan kuliah. Harapan masih melambung tinggi, ia tak yakin bisa meraih semua yang sudah tertulis di kertas itu. Rasa tidak percaya diri dan tidak yakin dengan diri sendiri selalu muncul, ia berpikir negatif akan diri sendiri.

Ia berdecak. “Tapi ... Ayah sama Ibu kan nggak izinin gue kuliah Sastra Indonesia. Antropologi? Ayah sama Ibu nggak izinin juga di jurusan yang aneh-aneh,” monolognya. “Semua yang ada di sini, cuma keinginan gue.”

Pada plan kuliah itu, tertulis nama jurusan dan kampus yang ia inginkan. Ada tiga kampus impiannya, UNPAD, UPI dan UNSOED. UNNES dan UNDIP menjadi blacklist kampus idaman. Sebab itu artinya, ia harus tinggal di Semarang bersama saudara. Ia berharap itu tak akan pernah terjadi.

Dalam kertas itu pula terdapat rencana-rencana yang akan ia lakukan semasa kuliah nanti, di antaranya seperti mengikuti UKM kampus, jadi mahasiswa ambis, dan harus pandai bersosialisasi. Ia tak tahu rencana-rencana itu terwujud atau tidak, namun setidaknya ada keinginan di hatinya untuk mewujudkan itu. Ia masih anak SMA tingkat akhir yang belum tahu nano-nanonya masa kuliah. Semoga, ia benar-benar bisa menjalankan sesuai yang ia tulis.

“Gue nggak tahu bisa keterima di tiga Universitas ini atau nggak. Tapi yang jelas gue pengin banget.” Masih menatap kertas plan kuliah itu, ia tersenyum samar. “Pokoknya, kalau gue kuliah nanti, gue harus rajin. Harus bisa sosialisasi, keluar dari zona nyaman. Dan gue harus aktif organisasi, sambil cari beasiswa biar bisa ringanin beban orang tua.”

Pada saat itu pula hujan turun, mengguyur semesta. Gadis itu beralih menatap jendela, bersama hujan ia bekata dalam hati. “Ya Allah, semoga apa yang aku inginkan bisa terwujud, aamiin.”

Gadis itu beranjak dari kursi yang ia duduki. Ia membuka pintu yang menghubungkan balkon. Udara dingin di luar menyambutnya, gadis itu meringis seketika.

Ia berjalan perlahan. Kalau hujan begini ia ingat Lingga. Biasanya, mereka akan makan mie instan kuah sambil memutar lagu Coming Home milik NCT U. Namun siapa sangka, ketika ia sudah berdiri di balkon kamar, lagu yang berjudul Coming Home itu telah terputar, memenuhi gendang telinga bersama derasnya hujan. Lingga, orang itu yang telah memutar play list Coming Home di ponselnya.

Jingga bersandar pada terali, menoleh ke arah Lingga yang sedang melamun. Di tangan cowok itu, menggenggam erat cangkir berisi minuman hangat.

“Hujan-hujan jangan melamun, mikirin apa lo? Tumben banget.”

Lingga masih geming, belum menjawab pertanyaan Jingga. Jangankan menjawab, bergerak sedikit saja tidak.

Gadis itu menghela napas, meraup wajahnya dengan tangan kanan. Ia masih pening dengan jurusan kuliah dan mimpi-mimpinya, juga orang tuanya. “Menurut lo, gimana rasanya jadi anak pertama dan satu-satunya?” tanya Jingga pada Lingga.

Cowok itu menyesap minumannya perlahan. Lalu, ia letakkan cangkir itu di atas meja. Lingga menatap gadis yang berdiri beberapa meter dari jangkuannya. “Entah? Gue nggak tahu sih, terkadang gue ngerasa lelah tapi enjoy aja. Semua orang juga gitu kan? Ngerasa lelah. Jadi, nggak berlaku buat anak pertama aja. Menurut gue, tergantung kita menyikapinya gimana. Kalau gue, Tuhan tahu kok kalau kita kuat, kita hebat, dan kita bisa mengatasi sendiri. Bukanya itu termajuk ujian-Nya? Tuhan mau tahu seberapa jauh kita bertahan.”

Kombinasi | New VersionМесто, где живут истории. Откройте их для себя