Empat Belas

189 20 2
                                    

Happy Reading!

“Masih pagi udah melamun aja.”
Pagi itu di hari sabtu, ia ikut papa ke rumah sakit Pondok Indah—tempat praktik papanya. Dulu, ketika masih kecil ia sering menghabiskan waktunya di sini. Baginya, tempat ini sudah menjadi rumah kedua yang mana tak lagi asing. Di tempat ini pula, ia pertama kali mengenal sahabatnya—Senja Aradhana.

 Di tempat ini pula, ia pertama kali mengenal sahabatnya—Senja Aradhana

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sekarang sudah pukul delapan kurang lima belas menit. Saat ia berjalan menelusuri koridor rumah sakit menuju ruangan papa, suasana telah ramai.

“Nggak main sama teman-temanmu? Atau ... Jingga?” tanya papa lagi. Sepertinya papa penasaran dengannya. Bagaimana tidak penasaran, sejak kelas tiga ia jarang berkunjung ke sini. Putranya itu lebih sering menghabiskan waktu di kamar, bermain gitar, belajar, di rumah Jingga atau bermain dengan sahabatnya.

Cowok itu menyedot caramel macchiato yang ia beli sebelum ke sini. “Nggak, Pa. Jingga pergi sama teman sekelasnya. Lagian udah lama aku nggak main ke sini,” jelas cowok itu.

“Tumben? Biasanya kemana-mana sama Jingga,” kata papa yang masih heran. Tidak ada yang salah, ia memang selalu pergi dengan Jingga. Tetapi, ada kalanya keduanya membutuhkan waktu untuk sendiri bukan? Lantas, mereka juga tak bisa terus bersama. Sebab ke depan nanti, jalan hidup mereka sudah berbeda. Atau ... bagaimana? Eh? Kok jadi bingung?

“Iya sih, Pa. Tapi kan nggak selamanya kita bareng-bareng. Jingga juga butuh waktu sendiri, sama temannya yang lain.” Cowok itu mendongak, menatap langit-langit ruang kerja papa dan tersenyum tipis. “Lagian aku cuma sahabatnya.”

Gerakan papa menata berkas-berkas dalam map sempat terhenti. Pria setengah baya itu menggeleng-gelengkan kepala.

Ah, masalah anak muda!

“Kamu ada masalah?” tanya papa.

Cowok yang duduk pada sofa itu menoleh, menatap papa dengan kernyit heran. “Apa aku terlihat seperti orang punya masalah, Pa?”

Papa mengangkat bahu. “Nggak tahu. Tapi, kalau misal kamu ada masalah, kamu bisa cerita sama Papa.”

Papa tak sepenuhnya salah. Ada hal-hal yang mengganjal dalam pikirannya. Terlalu banyak, ia sulit untuk menjabarkan.

Tentang hidup.

Tentang mimpi.

Cinta.

Dan ketakutan-ketakutan lainnya.

Lalu, tentang gadis itu—Jingga.

Selama ini ia sering bercerita apa saja dengan Jingga. Jingga yang selalu mengerti dirinya selain kedua orang tuanya. Gadis itu selalu mendengarkannya. Kalau boleh egois, bisakah ia memiliki Jingga selamanya? Bisakah ia selalu di samping gadis itu?
Tapi, ia tak mampu. Sekeras apapun ia menolak takdir. Sekeras apapun ia berusaha untuk terus di sisi gadis itu, ia tak akan pernah bisa. Sebab percuma—raga gadis itu ada di dekatnya, tapi hatinya bukan untuknya, melainkan untuk orang lain.

Kombinasi | New VersionWhere stories live. Discover now