Tiga Puluh Tiga

96 15 0
                                    

Happy Reading!

UAS telah selesai, pun dengan class meeting yang akan berakhir sore nanti. Hari ini, anak-anak Bahasa, terutama kelas 12 berdiskusi di dalam kelas. Mereka sedang membagi anggaran untuk membeli bahan makanan yang akan dijual besok. Masing-masing tiap kelompok mendapat dua ratus lima puluh ribu untuk membeli bahan. Tenang saja, mereka hanya membeli bahan seperti buah-buahan, selai, roti, sayuran, air galon, es batu, dan lain sebagainya. Alhasil, diperkirakan anggaran dua ratus lima puluh ribu akan cukup, sebab Isha menyuruh berbelanja di pasar.

“Udah dapat duit semua, kan?” tanya Isha memastikan yang dibalas anggukan dari tiap kelompok. “Ini masih jam sembilan, saran gue sih mending sekarang ke pasar. Gerbang depan juga buka, kita bebas keluar masuk.”

“Yang cewek nggak ikut belanja, nanti bantu-bantu cowok di Gor.”

Ulia mengangguk. “Sha, co cardnya udah dikasih nama belum?”

“Dibawa Daniela kemarin. Coba tanya dia,” jawab Isha dan dibalas anggukan oleh Ulia.

Singkat cerita, di pagi menjelang siang ini Jingga dan Aura sudah di tempat penjualan bahan kue dan plastik. Mereka telah mendaptkan aneka selai, mentega, dua susu sachet rasa cokelat serta dua susu sachet rasa vanila, keju dan meses.

“Oh, sama itu Mas ... kertas minyaknya lima ribu aja,” ujar gadis Naira pada pemilik toko atau malah karyawan, Jingga juga tak paham. Lantas si mas-mas itu mengambilkan barang yang dimaksud gadis Naira itu.

Alis Aura mengkerut, ia menoleh menatap sahabatnya. “Emang lima ribu dapat berapa, cukup nggak?”

“Kayaknya sih cukup. Soalnya kan kita pakai roti tawar yang biasa buat sandwich. Jadi bakal cukup karena kertas minyaknya bakal dipotong. Kalau nanti kurang beli di Ibu kantin aja, kayaknya sih boleh.”

“Kalau nggak boleh?”

Jingga bergumam. Ia berpikir mencari jalan keluar lain. “Pakai kertas HVS. Di tas gue selalu bawa. Atau ambil HVS di kelas masih ada setengah.”

“Ada lagi nggak, Mbak?” tanya penjual tersebut.

“Udah, Mas. Totalnya berapa?”

“Bentar saya buatin nota dulu,” cakapnya.

Sembari menunggu nota, Jingga mengeluarkan uang dari dompetnya. Harapannya dengan uang dua ratus lima puluh cukup untuk membeli semua bahan yang dibutuhkan.

“Ini Mbak. Totalnya seratus tiga puluh empat tiga ratus,” ujar penjual itu sambil menyerahkan kantong plastik putih berisi belanjaan. “Ini notanya.”

Aura menerima kantong plastik dan nota tersebut. Sedangkan Jingga menyerahkan uang sebanyak seratus empat puluh ribu.

“Terima kasih, Mas,” ucap Jingga sambil menundukkan kepala setelah mendapat uang kembali.
Lantas keduanya berjalan meninggalkan tempat tersebut dan segera mencari toko roti. Memutari pasar yang lumayan lebar ternyata lelah juga. Jingga sudah merasa haus, apalagi saat melihat es dawet.

“Ini mau beli roti berapa?”

“Lihat dulu harganya. Soalnya uang kita tinggal dikit.” Jingga mengusap pelipisnya. “Tadinya mikir mau beli sepuluh. Tapi uangnya masih seratus lima belas tujuh ratus.”

Keduanya terlibat percakapan-percakapan kecil dibumbui gosip tentang Bulan Bahasa dan teman kelas mereka sendiri. Sampai tak sadar jika beberapa meter lagi mereka sampai di toko roti.

“Mau beli apa, Mbak?” tanya ibu tersebut.

Jingga tersenyum. “Hehehe. Mau beli roti tawar, tapi bentar ya, Bu, kita mau pilih dulu.”

Kombinasi | New VersionWhere stories live. Discover now