Dua Puluh Satu

156 29 3
                                    

Happy Reading!

Jingga:
Beli martabak, ya apa nggak?

Lingga🍉:
Bentar, siap-siap dulu

Setelah mengirim pesan pada sahabatnya, gadis itu bergegas untuk memakai hoodie abu-abunya. Tak butuh waktu lama gadis itu bergegas untuk ke luar—rencananya ia akan menunggu sahabatnya di teras. Baru beberapa langkah mencapai pintu keluar dari kamarnya, ia teringat sesuatu. Ah, ponsel dan dompetnya! Gadis itu menepuk dahinya. Bisa-bisanya melupakan dompet dan ponsel.

Di ruang tamu ternyata sudah ada Lingga, duduk manis dan makan keripik tempe yang memang disediakan di meja. Menyadari kalau sahabat kecilnya sudah keluar dari kamar, cowok itu menutup topeles. “Udah?”

Gadis itu mengangguk. “Ayo, abis ini gue mau belajar.”

“Ya udah, ayo,” ujarnya seraya berdiri. “Eh, kok lo pakai hoodie abu-abu, sih?”

“Ya emang kenapa?” Ia bersedekap, menatap Lingga dengan raut tanya.

“Ntar dikira couplean anjir!”

Gadis itu tersentak. Ia mengerjap pelan, menatap pakaian yang Lingga gunakan. Benar, sahabatnya juga menggunakan hoodie abu-abu, dipadukan bawahan celana pendek.

“Ya udah sih, emang kenapa? Cuma warna aja yang sama kok. Ayo, buruan. Gue nggak mau debat masalah sepele.”

Duh, Jingga. Benar-benar, ya.
Lingga mendengus. Bukannya tak suka jika dikira mereka memakai barang couple. Tapi, kan ... tapi ... ah, sudah lah. Lupakan saja.

“Buruan, Lingga! Malah diam di situ.”

Lantas, keduanya berjalan beriringan menuju motor matic yang terparkir rapi di halaman rumah Jingga. Pemuda itu memberikan helm kepada sang gadis, dan diterima oleh Jingga. Setelah memastikan kalau gadis yang ada diboncengannya duduk dengan nyaman, ia mulai melajukan motornya—meninggalkan pekarangan rumah Jingga.

Untungnya mereka pergi menggunakan motor, alhasil bisa salip sana-sini. Maklum saja, Jakarta tak pernah tidur, selalu ramai. Kini, Jingga dan Lingga telah sampai di Pasar Minggu—tepatnya di Martabak Borneo. Tadinya Lingga ingin beli martabak di Cilandak, seberang Transmart Cilandak. Namun Jingga lebih memilih Martabak Borneo. Lingga mengalah.

“Mau martabak manis apa telur?”

“Gue mau yang manis aja. Isinya setengah rasa cokelat, keju sama oreo.”

Pemuda itu mengangguk mengerti. “Lo duduk dulu. Gue pesenin.” Ia berlalu meninggalkan sang gadis untuk memesan.

Jingga menatap sekeliling. Kursi-kursi penuh. Ah, tidak. Tidak juga. Masih ada tiga kursi di samping pemuda yang memakai coach jacket hijau army. Gadis itu berjalan mendekat, dan duduk di dekat pemuda itu.

Beberpa menit kemudian Lingga datang, duduk di samping Jingga. “Sinting, lo. Mending beli martabak di dekat Transmart aja. Atau yang di dekat komplek Raja juga enak.”

Ssst. Diam. Sekalian jalan-jalan, tahu. Gue butuh udara malam, ngeliatin kendaraan bersliweran sebelum ngerjain tugas.”

“Wah, benar-benar sinting lo,” cibir Lingga. Ia tak mengerti jalan pikir gadis di sampingnya ini. Selalu tak tertebak.

Menggulir layar ponsel, membuka wattpad, instagram, line, dan whatsapp membuat Jingga bosan. Tidak ada yang menarik sama sekali. Penulis favoritnya belum update cerita, membuka instagram membuat insecure, dan membuka aplikasi perpesanan tidak ada yang mengirmnya pesan penting—Jingga malas jika harus membalas pesan tak penting. Maka dari itu ia memilih untuk membaca atau menghapus pesan tersebut.

Kombinasi | New VersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang