Empat Puluh Delapan

154 21 20
                                    

Happy Reading!

“Besok agendanya apa sih?”

“Bersih-bersih kelas abis itu salam-salaman sama guru, staff, angkatan terus adik kelas buat minta maaf sekaligus doa restu,” jawab Aika kepada Aura.

Minta maaf dan meminta doa restu adalah agenda tahunan Panorama yang rutin dilakukan saat akan memasuki Ujian Nasional. Istilahnya acara tersebut sudah turun-temurun.

“Waktu uji coba UNBK kemarin, nilai UN gue jelek banget gila,” keluh Aura yang kali ini tenaganya terlihat kurang bersemangat.

Jingga mendengus. Pasalnya bukan hanya Aura yang mendapat nilai jelek. “Sama Ra, nggak lo aja.”

“Sampai sini gue nyesel ambil pilihan Bahasa dan Sastra Indonesia, tahu gitu dulu gue pilih Antropologi aja.” Tak tanggung-tanggung, Aura masih saja menyuarakan keluhnya.

“Setuju. Mana dulu yang ambil pilihan Sastra Indonesia kan dikit, kalau nggak salah lima orang. Kebanyakan pada ambil Sastra Inggris, gara-gara Sastra Inggris dibatalin pada ke Sastra Indonesia semua.” Kilas balik beberapa bulan yang lalu terputar di memori Jingga. “Nggak ada yang ambil Antropologi, Sastra Jepang aja cuma kalian bertiga ketambahan Mila sama Aditya. Tahu gitu pas pada pindah ke Sastra Indo gue pindah Antropologi, soalnya tiap pelajaran tambahan Sastra Indo nggak enak banget, asli. Mungkin karena kebanyakan kuota, berisik parah nggak bisa fokus.”

Mengunyah nasi goreng yang dibeli dari kantin. Gadis itu mengangguk. “Benar banget! Sekarang nyesel parah. Dulu nggak mau ambil Antro alasannya klasik, cuma karena gurunya nggak enak,” timpal Aura.

“Penyesalan emang di akhir,” komentar Jeni ketika mematikan mengantongi ponselnya.

“Ya lo sih, salah siapa. Dulu diajak ambil Sastra Jepang nggak mau.” Muti menertawakan nasib kedua temannya. “Padahal Sastra Jepang enak.”

Aika mangut-mangut, membenarkan apa yang Mutia katakan. “Iya, nggak kayak Sastra Indonesia yang soal sama jawabannya nggak pasti.”

“Lo ngomong gitu karena jago di Sastra Jepang,” cibir Aura. Gadis itu sudah manyun seperti bebek.

“Nggak juga. Lo lihat aja si Aditya, anaknya nggak jago, tapi pas uji coba dapat delapan puluh tuh,” jawab Aika mewakili. “Ya karena tadi, Sastra Jepang tuh udah pasti.”

“Mana Nana Sensei baik banget, neraktir kita pas nilai kita diatas KKM semua,” sambung Jeni yang agaknya kalau menurut Aura gadis itu pamer. Kan Aura jadi iri.

“Sumpah, Sastra Indo tuh nggak bisa diprediksi banget.’ Jingga yang notabennya suka Sastra Indonesia saja nyerah. “Telat banget nyesel sekarang. Dulu dengan yakin ambil itu, tapi pas uji coba, duhhh ...”

Aura menghela napas. “Kayaknya kena karma gara-gara nyepelein Antropologi,” gumam gadis itu.
Muti menatap kedua sahabatnya yang frustasi itu. “Dari dulu Sastra Indonesia jawabnnya menjebak nggak sih? Itu alasan gue nggak mau ambil, dan lebih pilih Sastra Jepang.”

“Dah lah, bikin iri aja lo,” sungut Aura. “Kenapa juga dulu gue pilis Sastra Indo, padahal kan gue suka Antropologi.”

“Lo kan ikut-ikutan Jingga. Soalnya dulu kalau di Antro nggak ada teman kan? Anak-anak pada masuk Sastra Inggris semua.” Muti mengingatkan apa yang Aura lakukan waktu itu.

“Gue yang suka Sastra Indonesia aja kayak, duh mau nyerah, nggak tahu lagi deh.” Jingga merutuki dirinya sendiri.

“Ya mau gimana lagi, udah kejadian,” tukas Aika. ‘UN juga udah di depan mata. Besok jumat, terus seninnya UN.”

Kombinasi | New VersionOù les histoires vivent. Découvrez maintenant