Tujuh

207 37 7
                                    

Happy Reading!

Sekarang cuaca sedang tidak menentu, terkadang hujan, terkadang terang. Seperti saat ini misalnya, pagi-pagi langit Jakarta diguyur hujan. Kalau kata orang, hujan itu nikmat. Memang, ada benarnya juga. Tetapi, kali ini Jingga tidak suka dengan hujan. Sebab, pagi ini ia harus berangkat sekolah. Bayangkan saja, jalanan pasti becek, dan udara pagi sangat dingin. Sungguh, kombinasi yang pas sekali. Jingga ingin bergulung di bawah selimut saja, namun, tidak mungkin juga ia bolos sekolah dan berakhir dengan alfa pada buku absensi.

Di depan ruang BK, Jingga berdiri sambil memeluk tubuhnya sendiri. Sementara di belakangnya, ada Aura yang mendengarkan musik lewat earphone, sambil duduk di bangku bersama Jeni. Sejujurnya, Jingga malas keluar kelas kalau saja Jeni tidak memaksa menemani mencari wifi untuk download drama Korea dan streaming MV dari boy grup favorit Jeni yang baru saja keluar.

“Hujan gini gue harap Bu Rosa nggak ngajar. Semoga jam kosong, aamiin,” harap Aura menggebu-gebu.

“Mustahil tahu nggak kalau Bu Rosa nggak datang. Tahu sendiri, kan, kalau Ibu matematika itu selalu tepat waktu.”

Aura memukul lengan Jeni, ia cemberut. “Aamiin dulu, dong, semoga nggak datang. Kali aja, ada keajaiban.”

Jingga hanya menggelengkan kepala ketika mendengar perdebatan sahabatnya. Ketika ia menoleh ke arah lapangan basket, netranya tak sengaja menangkap pemandangan yang membuat iri. Jingga melihat Senja bersama Daniela. Sepertinya mereka berdua baru sampai sekolah, sebab, keduanya masih menggendong ransel. Senja membawa payung, dan di sampingnya ada Daniela yang tak henti tersenyum.

Ia memalingkan muka. Jingga tidak mau melihat pemandangan seperti itu lagi, sudah cukup. Hatinya terluka. Bersama udara yang semakin dingin dan menusuk tulang, ternyata begini ya rasanya. Ternyata sakitnya mencintai diam-diam itu seperti ini. Ingin cemburu tapi tidak punya hak. Ingin melarang, juga tidak memiliki hak apa pun.

Namun, sejak awal Jingga sudah sadar. Ia tidak pantas di samping Senja. Sejak awal juga, ia telah siap jika bukan dirinya yang berdiri di samping Senja. Cepat atau lambat, Senja akan bersama orang lain. Sebab, Senja sulit digapai olehnya.

Benar kata Lingga, lebih baik bucin sama semangka aja! Karena sakitnya tidak terasa.

“Jingga.”

Jingga tersentak saat Aura memanggil namanya. Gadis itu mengerjap, menoleh ke belakang dan menatap bingung pada Aura.

“Berdiri terus, duduk sini,” ujar gadis itu sambil menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya.

Jingga mengangguk, duduk di sebelah Aura. Ia menopang dagu, sambil menatap rintik-rintik hujan. “Daniela ada hubungan apa sih, sama Senja?” tanya Jingga pelan, bahkan suaranya nyaris tidak terdengar karena beradu dengan hujan. “Mereka berdua kelihatannya cocok.”

“Heh?” Sayup-sayup Aura mendengar perkataan Jingga, dan ia bingung harus menjawab seperti apa. “Itu cuma perasaan lo aja,” jawab Aura sambil membalas pesan pacar.

Jingga memikirkan ucapan Aura. Benaknya selalu bertanya-tanya. Apa iya?

Ibu pernah bilang bahwa, kita tidak boleh iri terhadap orang lain. Itu tidak baik. Namun sekarang, ia iri kepada Daniela. Sungguh, Jingga tidak dapat berbohong jika rasanya menyakitkan.

Kombinasi | New VersionWhere stories live. Discover now