Empat Puluh Lima

136 19 9
                                    

Happy Reading!

Hari ini adalah salah satu hari mendebarkan bagi Jingga dan pasti bagi orang lain. Pengumuman SNMPTN. Setelah detik, menit dan hari yang dilewati kini mereka—bagi yang mendaftar akan tahu hasil pengumuman SNMPTN. Ya memang jangan terlalu peduli dengan SNMPTN, pikirkan saja SBMPTN, tetapi tetap saja rasanya mendebarkan. Menyakitkan jika hasilnya tak sesuai ekspektasi yang diharapkan.

Di kamarnya, Jingga menatap jam pada ponselnya. “Kurang sepuluh menit,” gumamnya. Dan pengumuman SNMPTN akan keluar pada website pukul tiga sore. Ia menautkan kedua tangan, rasa gugup melanda. Jingga merebahkan dirinya di tempat tidur, berguling-guling sampai tempat tidurnya sedikit berantakan. Gadis itu menutupi wajahnya dengan guling. Bagaimana tidak, ia sungguh takut.

Jingga menghela napas. Detak jantungnya semakin tak karuan. Ia raih kembali ponselnya. Kurang dua menit lagi. Maka dari itu, ia membuka website dan menekan tombol log in website itu bersamaan dengan pukul tiga tepat.

Bola matanya membelalak, tubuhnya ikut bergetar. Di layar ponselnya bukan tanda hijau yang didapatkan. Ia menatap tulisan itu dengan nanar. Ada penolakan di sana. Jingga dinyatakan tak lulus SNMPTN. Itu artinya ia harus belajar SBMPTN. Gadis itu kembali merefresh laman website, pikirnya siapa tahu hasilnya salah. Ia log in kembali namun hasilnya sama saja. Ia benar-benar tak lolos. “Gue nggak lolos ...” ujarnya melirih.

“Gue nggak siap kasih tahu Ibu sama Ayah, pasti mereka kecewa.” Lantas bagaimana cara dia untuk memberi tahu perihal ini kepada orang tuanya. Pelupuk matanya sudah tak bisa dibendung lagi, kristal bening itu telah menetes. Hal yang ditakutkan terjadi.

Pukul lima lebih lima belas menit. Jingga sudah mencuci wajahnya kembali, meski matanya masih terlihat bengkak. Bersamaan dengan itu kedua orang tuanya pulang kerja. Belum bersih-bersih seperti mandi, ibu sudah menanyakan perihal hasil SNMPTN.

“Katanya pengumuman SNMPTN sekarang, gimana hasilnya? Udah dibuka?” Pertanyaan beruntun dari ibu mati-matian ia hindari namun tetap saja tak bisa.

Menggigit bibir dalam, ia menatap ibu sekilas. Dengan keberanian yang tersisa, ia menjawab pelan. “Udah buka tapi aku nggak lolos?” Setelah kata itu tersampaikan ia tambah gugup saat melihat wajah ibu dan ayah.

“Kok bisa?”

“Nggak lolos?”

Kalimat itu datang dari kedua orang tuanya. Pertanyaan yang Jingga sendiri bingung harus menjawab seperti apa.

“Nggak tahu juga, tapi tulisannya aku nggak lolos.”

“Emang dasarnya bodoh sih,” ucap ibu entah sadar atau tidak. “Gitu aja nggak lolos?” Rasa lelah—seharian bekerja ditambah berita dari anaknya membuat kepala wanita setengah baya itu berdenyut.

Mendenga kalimat bodoh dari ibu Jingga tersentak. Dadanya bergemuruh, ia ingin menangis tapi tak mau menangis di depan ibu dan ayah. Jingga bergegas pergi ke kamarnya. Rasanya sedih bercampur takut.

“Gue emang bodoh. Tapi kenapa gue harus dengar itu dari Ibu,” gadis itu sesenggukan di bawah bantal. “Rasanya sakit. Nggak berguna banget gue jadi anak. Lagi-lagi yang paling sering ngecewain Ibu sama Ayah itu gue.”

“Kenapa sih, harus gini ...”

“Maaf, maaf ... belum bisa jadi anak yang sesuai ekspektasi kalian. Maaf ...”

☼☼☼

Di rumah sebelah tepatnya rumah keluarga Ananta, Lingga sedang menikmati semangka yang sudah dipotong dadu oleh sang mama.

Di dapur, ia mengamati mama yang mondar-mandir di depannya untuk memasak makan malam. Kebetulan sekali hari ini mama shift pagi sampai siang.

“Ma, masih ada nggak semangkanya?”

Kombinasi | New VersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang