Enam Belas

183 18 2
                                    

Happy Reading!

“Permisi ... maaf, Pak, saya dan teman saya boleh duduk di sini? Soalnya udah penuh semua mejanya,” tanya Lingga dengan tenang. Tak lupa ia menampilkan senyum terbaiknya di depan Pak Dayat—guru Pendidikan Kewarganegaraan yang mengajar kelas IPA.

Beliau mendongak menatap Lingga dan gadis di samping cowok itu sebelum akhirnya mengangguk memberi izin. Ruang perpustakaan hari ini ramai, kebanyakan diisi oleh anak IPS 2 yang sepertinya habis kelas.

“Silakan, kalian duduk saja.”

“Terima kasih, Pak,” ujar Lingga. Kedua remaja itu duduk berdampingan, berhadapan dengan Pak Dayat.

“Bapak sedang baca apa? Saya lihat serius banget.” Lanjut Lingga.

Beliau sedikit menurunkan koran yang ia baca. Lalu, ia menjawab, “Ini nih, human capital. Masalah pendidikan dan kesehatan dalam pembangunan ekonomi. Kamu tahu, kan dua hal ini menjadi tujuan pembangunan yang mendasar dan sangat penting.”

Lingga mengangguk. Cowok itu tertarik dengan apa yang diucapkan Pak Dayat. Ia ingin mengupas masalah pendidikan dan kesehatan bersama beliau. Sementara Jingga hanya menopang dagu dan membaca buku Antropologi yang baru saja ia pinjam.

“Ah, iya sih, Pak. Keduanya sangat penting, di mana sebagai fundamental untuk membentuk kapabilitas manusia. Kesehatan itu kan inti dari kesejahteraan, dan pendidikan adalah hal pokok untuk menggapai kehidupan yang memuaskan atau lebih baik lagi.”

“Betul. Dari yang kamu katakan, maka kesehatan dan pendidikan dapat dilihat sebagai bagian dari pertumbuhan dan pembangunan yang vital sebagai input fungsi produksi agregat,” terang Pak Dayat lebih jelas. Beliau melipat koran dan kembali berbicara, “Peran gandanya sebagai input maupun output menyebabkan kesehatan serta pendidikan begitu penting dalam pembangunan ekonomi.”

Lingga menyerap apa yang dikatakan Pak Dayat. Ia diam sejenak memikirkan masalah pendidikan dan kesehatan. “Tapi, Pak, menurut saya kesehatan masih memprihatinkan. Terutama di Negara berkembang. Nggak usah jauh-jauh, ambil contoh di Indonesia saja.”

“Tapi masih mending, daripada dulu. Kamu tahu kan malaria, schistosomiasis, HIV dan AIDS menjadi penyakit yang mematikan. Dulu, ketika kita sakit dan nggak punya uang yang cukup untuk berobat ya pasti akan berakhir meninggal, karena pelayanan kesehatan sangat mahal. Orang-orang mata duitan pasti mengutamakan yang memiliki banyak uang. Sementara yang tidak mempunyai uang berakhir terlantar.” Pak Dayat senang ada murid yang suka berdiskusi seperti ini. Entah itu keluar dari topik jurusannya maupun tidak.

“Kalau sekarang memang masih ada, tapi sedikit. Terutama di daerah terpencil. Meskipun Negara kita atau Negera berkembang lainnya sudah mengalami kemajuan. Tapi penyakit seperti gizi buruk, cacar, rubella dan polio yang menyerang anak-anak masih terjadi. Hal itu disebabkan karena keterbatasan uang. Bahkan meski ada dokter yang ditempatkan di daerah terpencil pun belum cukup untuk mengatasi masalah itu.” Lanjut Pak Dayat.

Menurut buku karya Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith yang berjudul Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, pada tahun 1950 sebanyak 280 dari setiap 1.000 anak di semua negara berkembang meninggal sebelum mencapai usia lima tahun.

Pembahasan mereka sempat terhenti saat Raja menghampiri meja mereka. Cowok itu menepuk punggung Lingga pelan. “Ngapain, lo?” Ia ikut duduk di bagian samping—menghadap arah jendela.

Lingga memilih tak menjawab, ia malah melontarkan pertanyaan untuk sahabatnya—Raja. “Lo sendiri abis ngapain?”

“Baru selesai pelajaran Sosiologi Bu Happy. Beliau ngajak belajar di Perpus, cari suasana baru sekalian biar gampang balikin buku paketnya,” jelas Raja. Cowok itu kembali menatap Pak Dayat yang kebetulan menatapnya, ia menganggukkan kepala dan memberi senyum pada beliau.

Kombinasi | New VersionWhere stories live. Discover now