Empat Puluh Dua

201 22 11
                                    

Happy Reading!

Hari ini pendaftaran SNMPTN resmi dibuka. Di antara dari anak Panorama ada yang sudah mendaftar ada yang belum, karena masih bingung ingin melanjutkan di mana atau bingung ingin mengambil jurusan apa. Pagi ini di kelas 12 Bahasa sebelum jam pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di mulai, penghuninya masih membahas perihal SNMPTN.

“Lo daftar SNM?”

“Nggak. Gue nggak ikut.”

“Gue daftar swasta sih.”

“Kuota dari sekolah kan lima puluh persen.”

“Eh, lo daftar di mana?”

“Ambil jurusan apa lo?”

“Gue bingung, ambil Hukum aja apa gimana ya?”

“Kalau gue mau ambil Pendidikan Olahraga, Nggi.”


Begitu kira-kira kalimat yang dapat di dengar dalam kelas 12 Bahasa. Di semua murid kelas 12 Bahasa hanya beberapa yang mengikuti SNMPTN. Sementara di antara sahabat Jingga, hanya Aura yang tak mendaftar SNMPTN.

“Kalian udah daftar belum SNM belum?” tanya Aika pada keempat sahabatnya.

“Belum, gue bingung mau pilih mana. Lagian pendaftarannya sampai tanggal empat belas,” sahut Muti.

Jingga menopang dagunya, ia berucap, “Tapi kalau daftar pas akhir-akhir takut servernya down. Soalnya pasti banyak banget yang akses pas akhir.”

“Kemarin gue udah akses websitenya sih. Tapi belum daftar,” cerita Jeni sambil mengunyah bakpao goreng rasa cokelat. “Mau mantapin hati dulu ambil di Undip sama UNS. Tapi gue berharap dapat Undip, sih.”

“Lo berarti pilihannya di Jawa semua?” tanya Aura, membuat Jeni mengangguk mengiyakan.
“Iya. Kan kalau di Undip kan ada Kakak gue juga. Kalau apa-apa gampang.”

Aura mangut-mangut, ia sendiri tak sedih karena tak bisa mendaftar SNMPTN. Baginya, masih ada jalan lain. “Kalau Jingga udah daftar belum, Beb?

Mendengarnya, Jingga menggeleng. “Belum. Mau lihat dulu anak kelas kita pada daftar di mana sama jurusan apa. Paling entaran aja gue daftar pas tanggal tujuh atau delapan.”

“Eh, ada yang daftar kedinasan nggak?” tanya Aika, ia jadi teringat mengenai pendaftaran kedinasan.

“Gue nggak minat Ikatan Dinas, kenapa ya?” giliran Jeni yang menjawab. Namun, perkataannya bukan jawaban yang diharapkan Aika.

Muti menyahut saat kalimat aneh itu terucap dari bibir Jeni. “Ya dari awal lo udah mantap ke PTN, bukan Kedinasan, Jen. Minat awal lo nggak ada di Kedinasan.”

“Kalau di kelas kita, dulu Krisna angkat tangan pas di tanya Kakak yang dari STAN itu,” balas Jingga. “Yang sosialisasi di kelas kita waktu itu. Ingat nggak?”

“Oh, iya! Dia kan pas ditanya pengin ke STAN apa nggak dia angkat tangan!” kata Aura. “Nggak heran sih. Dilihat-lihat dia emang lebih condong masuk Kedinasan daripada Univ, kayak di IPDN, STNS, STIN sama BIN. Tapi gue ngira dia bakal masuk Kepolisian atau Tentara malah.”

“Lagian kalau masuk STAN dan Ikatan Dinas lain saingannya juga nggak kalah banyak kayak masuk Univ. Tesnya itu loh!” sambar Jeni sambil menggelengkan kepala. “Kan ya Krisna anak Bahasa. Mau ambil Ikatan Dinas tuh agak gimana gitu. Bukannya gue ngeremehin. Tapi ya apa nggak sulit? Soalnya kalau SMA yang daftar ke sana pasti kebanyakan anak IPA IPS.”

“Tapi kan nggak ada yang tahu Jen. Kali aja Krisna bisa bersaing sama mereka. Sekarang kelihatannya biasa aja, nggak tahu nanti dia gimana. Bisa aja kan dia diam-diam belajar, udah nyiapin sesuatu,” balas Jingga positif.

Kombinasi | New VersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang