Tiga Puluh Enam

100 14 2
                                    

Happy Reading!

“Gila, ya. Abis libur semester jadwal kita makin padat. Mana ada pelajaran tambahan lagi,” sungut Aura setelah meminum es teh dalam cup miliknya.

“Kalau jadwalnya pagi jam enam, gue bangun jam berapa anjir?” umpat Mutia. “Gue aja kalau jadwal sekolah bangun jam setengah enam.” Rumah Muti memang sangat dekat, jadi ia santai kalau berangkat ke sekolah.

Jeni menyenderkan kepalanya di pundak Jingga. “Biasanya kan bisa pagi atau sore abis kita selesai pelajaran. Mending pagi sih kalau kata gue, kalau sore udah capek. Ya kali dari jam tujuh lebih lima belas menit sampai jam lima atau kalau molor setengah enam kita belajar terus?”

“Iya, sih. Tapi susah bangun tahu kalau pagi,” sahut Aika yang bukan dari golongan morning person. “Minggu pertama sekolah masa udah ada jam tambahan? Kayaknya nggak deh, mungkin minggu kedua nggak sih?” Sekolah memang sudah libur, mereka akan kembali masuk di bulan januari. Di bulan tersebut, mereka akan sibuk persiapan ujian dan lainnya bagi kelas dua belas.

“Nunggu info lagi aja dari sekretaris. Nanti kan guru pasti ngabarin ke sekretarisnya,” balas Jingga yang belum membuka suara sama sekali.

“Gue pengin beli batagor lagi sama minum. Panas juga girls time di taman,” keluh Jeni sambil berkacak pinggang.

Mereka berlima memang sedang berada di taman, niat awal ingin girls time di Mall, tetapi karena Muti berdalih uang jajannya minim, akhirnya keputusan terakhir mereka memilih taman.

Aika merebahkan tubuhnya di gazebo tempat mereka duduk. “Cuacanya cerah terus panas. Salah banget milih ke taman.”

“Ya lo pikir deh Ka, kalau di Mall mah adem, nggak panas-panasan. Tapi kan kemarin diajak ke Mall si Muti lagi nggak ada duit, dan keputusan kita semua ke taman. Kalau ke cafe gitu-gitu doang,” ucap Aura.

Jingga mengangguk. Gadis itu menyedot es tehnya sampai tandas. “Iya sih, kalau ke cafe paling makan sama beli camilan, intinya tetap makan. Makanan abis, mau nongkrong lama nggak enak juga, kecuali kalau mau nambah beli camilan lagi.”

“Ya iya. Boros juga kalau nongkrong di cafe. Paling oke ya di taman, meski panas,” tukas Mutia. “Nggak apa-apa, kan kita nggak tiap hari kayak gini.”

“Hadeh. Ini ada yang mau ikut beli jajan nggak?” tanya gadis berpipi bulat sekali lagi, sebenarnya ia berani jika sendiri, tetapi kalau nanti ada yang nitip ia malas jika harus keliling mencari pesanan sahabatnya. Alhasil, ia mencari tumbal untuk diajak kerja sama.

“Sama gue aja yuk, Jen. Gue juga mau jajan lagi.” Aura bangkit dari duduknya. Tak lupa menyambar ponsel yang tergeletak di sampingnya tadi.

“Gue nitip dong,” kata Aura.

Tuh, kan! Apa Jeni bilang. Pasti ada yang nitip. Gadis berpipi bulat itu berdecih, “Ya udah, mau nitip apa?”

“Cimol sama sempol ya. Minumnya pop ice mangga.” Aika menyerahkan beberapa lembar uang pada Jeni.

“Bentar, gue catat dulu.” Ia menerima uang tersebut, dan juga menulis pesanan temannya di grup WhatsApp yang isinya dirinya sendiri. “Ada yang mau nitip lagi nggak?”

“Gue nitip deh, Jen, milk tea, sempol sama pangsit lagi.” Jingga tercengir. “Maaf ya, malah ngerepotin. Nih, uangnya ...”

Kombinasi | New VersionDonde viven las historias. Descúbrelo ahora