Delapan Belas

176 16 0
                                    

Happy Reading!

Waktu istirahat sudah berlalu, selesai pelajaran ia dan keempat sahabatnya langsung pergi ke musala. Alhasil, ia masih memiliki banyak waktu. Gadis itu bersiap-siap membaca novel yang sengaja dibawa dari rumah.

“Tolong dong, ikatin rambut gue,” pinta cowok yang sekilas mirip orang China—soalnya mata cowok itu sipit.

“Hah? Ikat gimana?” Bagaimana tak bingung, cowok ini tiba-tiba datang dan membawa karet kecil, lantas meminta untuk mengikat rambutnya. Ia menatap heran cowok di hadapannya. Kok ... random, sih?

“Ikatin rambut gue yang kayak Oppa Korea, itu loh.” Ia menyerahkan karet kecil berwarna hitam dan sisir.

“Alan, lo ada-ada aja deh. Gue lihat-lihat makin nggak beres otak lo,” sahut Aura tiba-tiba.

“Otak lo tuh yang nggak beres, terdeteksi bucin akut,” balasnya mencibir.

Gadis itu ternganga, ia jadi bingung sendiri. Kucir seperti Oppa Korea itu yang bagaimana ...? Lantas gadis itu mengulum bibirnya. “Aaa ... oke,” jawab gadis itu seadanya. Ia berdiri dari duduknya. Dan cowok itu sedikit menundukkan tubuh, agar gadis di hadapannya itu mudah mengikat rambutnya.
“Rambut lo bagus juga, lembut,” ucapnya dengan polos. Seumur hidup, ia hanya pernah menyentuh rambut Lingga yang seperti singa saat bangun tidur. Dan ini kali kedua, menyentuh rambut cowok lain. Rambut Alan tergolong mudah ditata, halus dan ... harum. Ia mengerjap, menggelengkan kepala pelan. Bisa-bisanya ia malah salah fokus. “Eh?”

Cowok itu terkekeh. Netranya sampai hilang tenggelam. “Jelas lah, sama rambut Lingga bagusan punya gue. Apa lagi sama Senja. Dih, masih kalah jauh sama gue,” ucapnya percaya diri.

Aura yang mendengar itu langsung berdecak sebal. “Wah, makin ngadi-ngadi.” Gadis itu kesal sendiri. “Ngomong-ngomong, kok pembina OSISI nggak potong rambut lo, sih? Itungannya poni lo udah termasuk panjang. Dan lo kan termasuk golongan manusia yang datang mepet, nah otomatis gerbang depan udah dijaga satpam, pembina OSIS dan kadang sama beberapa guru. Kok lo nggak ketahuan?” tanyanya mendadak kepo.

Sementara dengan gadis yang dimintai untuk mengikat rambut cowok itu memilih tak menyahut ucapan Alan, takut salah ngomong. Lebih baik ia fokus, menyisir rambut Alan terlebih dahulu, menyisir dengan pelan. Setelah itu ia menjumput sedikit rambut cowok itu.

“Ya nggak lah. Ini masih rapi, ya. Enak aja,” balasnya tak terima. “Lagian, terkadang gue jidatan kalau ada guru yang punya peraturan ketat. Jadi ya, nggak kelihatan banget. Soalnya kalau poni udah panjang gini gue ke sampingin, atau belakangin.”

“Tapi rambut lo nggak warna item.” Aura masih terus berkomentar.

“Heh, gue masih ada turunan China Korea, ya!” Cowok itu mendelik. “Ini asli, bangsat, rambut gue emang gini.”

“Hih! Iya Alan, iya. Nggak usah pakai bangsat juga. Untung aja, gue manusia yang tahan dan tetap tersenyum pas ada orang ngumpatin gue,” balas Aura berlebihan.

Mengembungkan pipi, gadis itu menyisir rambut Alan—bermaksud merapikannya. Ia tak yakin cowok itu suka atau tidak, lagian ia tak paham kucir ala Oppa Korea itu bagaimana. “Udah nih, tapi bisanya cuma gini. Soalnya rambut lo kan pendek, kalau dikucir pasti lepas-lepas, nggak keikat semua,” terangnya.

Cowok itu menegak, merogoh ponsel di saku celananya. Ia membuka fitur kamera dan bercermin di sana. “Bagus, kok. Gue masih kelihatan ganteng. Thanks, ya, Jingga”

Kombinasi | New VersionWhere stories live. Discover now