Tiga Puluh Delapan

77 15 2
                                    

Happy Reading!

Kalau ditanya apa pelajaran favorit anak Bahasa pasti jawabnya pelajaran bahasa Jepang. Rata-rata 98% anak 12 Bahasa menyukai pelajaran tersebut. Alasannya karena Nana Sensei ramah, mau diajak bercanda, dan baik banget. Alasan lainnya adalah pelajarannya mudah dipahami, kalau ada ulangan harian atau ulangan semester pasti materinya ketebak. Iya, nggak ada jebakan soal kalau kita benar-benar paham. Jawabannya juga sudah pasti. Dalam satu minggu pelajaran bahasa Jepang ada dua pertemuan, setiap pertemuan mereka harus belajar selama dua jam.

Kali ini Nana Sensei meminta anak 12 Bahasa untuk membuat shodo. Seminggu yang lalu, Nana Sensei meminta anak didiknya agar menyiapkan alat dan bahan membuat shodo. Kalian tahu shodo itu apa? Iya, shodo merupakan seni tradisional menulis kata atau huruf, secara artistik di atas kertas. Seni tradisional ini asalnya dari Cina atau Tiongkok. Dan shodo Jepang juga menggunakan huruf kana yang merupakan bentuk sederhana dari huruf kanji. Kalau belum paham apa itu shodo, lebih gampangnya kalau di Indonesia semacam kaligrafi.

Untuk membuat shodo kita harus memiliki fude, sumi, washi, setra gelas plastik untuk wadah air. Fude itu kuas, yang digunakan bukan kuas untuk melukis seperti biasanya itu, tetapi kuas khusus untuk membuat kaligrafi Jepang. Sedangkan sumi adalah tinta, tintanya juga tinta khusus, bukan tinta spidol. Kalau untuk washi, nama lainnya yaitu kertas, kita bisa memakai kertas HVS.

Sebelum memulai, Nana Sensei sempat menjelaskan cara membuat shodo. Cara memegang fude tak boleh sembarangan, soalnya nanti berakibat fatal.

“Lo mau buat kanji apa, Ra?” tanya Jingga pada teman sebangkunya. Netranya tak lepas menatap buku catatan kanji, memilih-milih kanji apa yang gampang dibuat.

“Nggak tahu nih. Masih bingung,” respon Aura setengah merengek. “Kayaknya ... nichiyoubi, kayoubi, sama doyoubi gampang.” Dahinya bergelombang, ia menggigit bibir bawahnya.

“Tapi ikimasu juga gampang kok, Ra. Ada lagi nih, sen, man, shiroi terus ...” Jingga masih mengabsen deretan kanji yang sekiranya mudah untuk dibuat shodo. “Kok gue jadi bingung mau yang mana sih.” Gadis itu merutuki diri sendiri.

Aura berdecak, “Ck. Cari aman aja. Pakai ue, sita, atau hito aja deh kalau gitu,” pungkas gadis itu.

Kedua gadis itu menghela napas. Mau pilih kanji aja susahnya kayak pilih pendamping hidup, harus diseleksi. Bukan hanya Jingga dan Aura saja yang kebingungan, melainkan semua anak kelas dua belas Bahasa. Mereka berjalan kesana kemari, bertanya dengan yang lain. Ya, seperti itulah kondisi kelas Bahasa kalau sedang praktik. Dan Nana Sensei tak melarang kalau anak didiknya berkeliaran seperti itu. Beliau malah duduk di bangkunya dengan tentram dan fokus membuat shodo sambil bersenandung kecil.

Masih ada waktu satu jam lebih lima belas menit, Jingga memutuskan membuat kanji hito. Sebenarnya kanji yang dipilih Jingga tak hanya dibaca hito, melainkan bisa nin dan jin. Hal itu lebih ke konteks pemakaiannya. Kalau Aura memilih kanji sita. Keduanya cari aman, daripada yang ribet nanti malah menyusahkan diri sendiri.

“Sensei, ini udah benar belum?” tanya Anggia. Gadis itu mengangkat kertas HVS, tergambar dengan jelas kanji chichi di kertasnya.

Nana Sensei bangkit. Beliau menghampiri bangku Anggia, ia berjalan dengan anggun. Sampai di bangku Anggia, Nana Sensei bersuara, “Bukan seperti ini, kamu masih salah. Satu celupan tinta itu untuk satu gerakan, biar hasilnya nggak seperti tambalan gini. Posisi tangan kamu harus benar dulu.” Tak hanya bicara, Nana Sensei memberi contoh lagi pada Anggia dengan sabar. Membuat shodo kelihatannya memang mudah, tapi pas praktik langsung ternyata susah juga.

Kombinasi | New VersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang