Empat Puluh Enam

146 17 32
                                    

Happy Reading!

Pasca penolakan SNMPTN ia lebih giat belajar, dengan harapan di SBMPTN nanti ia bisa mengerjakan soal. Apalagi setelah mendengar respon ibu kala itu. Siapa sih yang tak sedih dikatai bodoh oleh ibu sendiri, meski pada kenyataannya ia tak pandai. Cuma terasa sakit hati, sampai sekarang kata-katak itu masih terngiang di otaknya. Di saat mendapat penolakan, ia berharap mendapat support—atau penyemangat dalam bentuk lain, tapi nyatanya ekspektasi tak seindah itu.

Gadis itu termenung dengan pensil yang masih ada di genggaman, soal-soal latihan SBMPTN dibiarkan begitu saja—padahal ia baru menyelesaikan tujuh nomor.

“Lagi jam kosong apa gimana? Udah nangkring di perpus aja lo.” Suara itu menyadarkan lamunan sang gadis. Ia menegakkan kepala, di hadapannya sudah ada pemuda yang mengisi bangku depan.

“Ngagetin,” dengusnya.

“Lo yang ngelamun,” balasnya tak terima disalahkan. “Lo belajar SBM emang sekarang kelas lo lagi kosong?” Pemuda itu meraih salah satu latihan soal SBMPTN dan membuka tiap lembarnya.

“Jam kosong, ada tugas sih tapi udah selesai. Di kelas juga cuma ada beberapa orang, udah ada yang ke kantin, bolos sama duduk di depan. Ya udah gue ke sini aja, ngerjain soal,” ungkap gadis itu. “Niat awal mau ngerjain soal, tapi belum lama ngerasa malas.”

“Karena dari awal lo nggak benar-benar pengin ngerjain kali, jadinya lo malas,” komen pemuda itu santai. “Kalau udah yakin, niat dari hati pasti lancar aja. Beda kalau lo pengin tapi karena sesuatu.”

“Nggak tahu, deh,” jawabnya asal. “Lo sendiri ngapain?” tanya gadis itu balik.

“Gue sih disuruh ngerjain latihan soal Matematika wajib. Nanti pas jadwal tambahan dibahas bareng.”

Sayup-sayup terdengar suara petugas perpustakaan dan siswa yang meminjam buku. Percakapan sampai di situ. Karena keduanya lantas sibuk dengan urusan masing-masing. Si pemuda dengan latihan soal Matematika dan si gadis yang menyelesaikan soal SBMPTN. Padahal jika ditemukan, keduanya selalu memiliki bahan pembicaraan dari yang penting sampai tidak sekalipun.

Detik dan menit terus berganti, gadis itu menutup lembar latihan SBMPTN miliknya. Menopang dagu dengan kedua tangan, ia menghela napas panjang. Gadis itu menatap sosok di depannya lamat-lamat. Cukup lama ia menatap sosok pemuda yang tengah serius mengerjakan latihan soal Matematika. “Selamat ya, Lingga ...”

Suara yang terdengar merdu di telinga sang pemuda membuatnya menghentikan kegiatan menghitung. Perlahan, ia mendongakkan kepala, menatap manik sang gadis.

“Selamat buat lolos SNMPTN. Sesuai keinginan lo, Kedokteran UI.”

“Jingga ...”

“Maaf baru kasih selamat,” sambungnya diiringi seklumit senyum pada bibir gadis itu.

Namun, bukan. Bukan itu yang Lingga inginkan. Pemuda itu ingin memastikan keadaan gadis itu dan memberi peluk hangat seperti yang mereka lakukan saat kecil dulu.

Beberapa hari setelah pengumuman SNMPTN keduanya sibuk dengan urusan masing-masing. Padahal biasanya, sesibuk apa pun di antara salah satu pasti masih menyempatkan waktu untuk saling bercerita. Ditambah, beberapa hari ini Jingga yang biasanya sering berangkat dan pulang sekolah dengannya kini gadis itu diantar oleh ayahnya atau memilih untuk menaiki transportasi umum. Di sekolah pun, Jingga lebih menghabiskan waktu dengan para sahabatnya, dengan dalih ingin menikmati waktu bersama. Sebab jika sudah kuliah dan memiliki kehidupan baru pasti akan jarang bertemu juga situasinya berbeda.

Juga, pintu balkon kamar gadis itu yang biasanya terbuka akhir-akhir ini tertutup rapat. Padahal biasanya Jingga sering menghabiskan waktu di balkon, entah itu menikmati waktu luang atau mengerjakan tugas. Dan tentu ditemani Lingga dengan obrolan-obrolan random dari keduanya.

Kombinasi | New VersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang