Tiga Belas

181 21 3
                                    

Happy Reading!

Ini hari rabu, rencananya Jingga akan mengerjakan soal-soal SBMPTN yang ia dapat dari google. Gadis itu sudah mencetak soal-soal tersebut menjadi beberapa lembar. Sesampainya di perpustakaan, ia mengedarkan pandangan, perpustakaan masih seperti biasa, minim pengunjung. Lagian siapa juga yang betah di perpustakaan, lebih baik mengisi perut atau bergosip ria di kelas.

Tidak sengaja tatapannya jatuh pada meja pojok dekat jendela, sepertinya Jingga mengenal cowok itu. Tak perlu menunggu lama, ia menghampiri cowok tersebut. Menjatuhkan dirinya pada kursi di samping cowok itu, Jingga mengulum senyum ketika perhatian cowok itu teralih atas kehadiran Jingga.

“Oh, Raja?” Jingga pura-pura terjejut, padahal gadis itu sudah tahu dari awal kalau itu Raja. Entah, ia sendiri juga bingung dan yang paling membingungkan adalah mengapa dari sekian banyak tempat yang masih kosong di sini, ia memilih menghampiri tempat Raja? Seharusnya ia pura-pura tak tahu, dari pada terjebak kecanggungan.

Dahinya bergelombang, ada kernyit heran. “Jingga? Ngapain?” Cowok itu menoleh pada sekitar.

“Mau ngapain lagi di perpus kalau bukan belajar?” Gadis itu memiringkan kepalanya, senyum tipisnya terpatri di bibirnya.

“Oh, oke.” Cowok itu kembali menunduk, membolak-balik bukunya.

Giliran Jingga yang mengernyit, ini cowok sok cool banget, biasanya juga huru-hara sama teman IPSnya atau sahabat-sahabatnya. Eh, tapi, raut muka cowok itu sangat kusut, seperti orang punya masalah.

“Ngapain lihat-lihat? Baru tahu kalau sebenarnya gue itu ganteng banget?”

“He? ini cowok lagi nunduk juga,” batinnya, gadis itu berdeham, “Apaan, yang ada, lo itu PD maksimal,” dengusnya. Gadis itu membuka soal SBMPTNnya.

“Udahlah.” Raja mengibaskan tangan kanannya, dan tersenyum jahil. Ia memajukan tubuhnya. “Lo salting banget ya, kepergok lihatin gue. Kalau mau lihatin nggak usah diam-diam, nggak bakal puas.”

Jingga menggulung kertas berisi coret-coretan matematika, melempar pada cowok itu dan mengenai wajahnya.

Raja terkekeh, “Ya, ya, ya. Sorry.”

“Kenapa mendadak nyebelin banget sih lo? Tadi diam aja, kayak orang punya masalah,” dengus gadis itu. “Oh, ya, satu yang gue pengin tanya, tumben nggak bareng Lingga sama lainnya? Tadi kayaknya Senja nyamperin ke kelas lo. Terus, tumben juga lo main ke perpus.”
Raja memperhatikan Jingga yang masih nyerocos sendiri.

“Ternyata cerewet juga, nggak kayak yang orang bilang,” monolog dalam hati.
Ia bersedekap. “Udah ngomongnya? Mau ngomong apa lagi?” Raja menghela napas, ia sadar kalau orang-orang pasti akan bertanya mengapai ia mendadak rajin begini. “Aneh ya, kalau gue rajin? Padahal gue juga pengin dipuji kayak Lingga, Senja atau Alan.”

Jingga mengatupkan bibir rapat, tadi ia tak salah bicara, kan?

“Mama ...” Ada jeda cukup lama dari ucapannya. “Nilai gue hancur, Mama minta gue harus belajar yang rajin. Kalau nggak, barang-barang gue disita. Gue juga capek dibanding-bandingin. Gue kesel, kalau Mama bilang gue nggak berguna. Iya, gue tahu! Tapi ... saat Mama bilang gitu, gue tambah ngerasa nggak berguna lagi.”

“Tapi ... lo nggak marah kan sama Lingga atau Senja?” tanya Jingga pelan.

“Nggak lah, ngapain. Mereka sahabat gue. Guenya aja yang emang bego.”

Jingga menggeleng. “Lo nggak bodoh, cuma malas aja. Kalau lo rajin pasti bisa kok setara sama mereka.” Ada yang menghantam keras di hatinya. Ternyata Raja yang ia kenal sebagai cowok rusuh dan seceria itu bisa mengalami hal yang serupa dengannya. “Tunjukin kalau lo berguna.”

Kombinasi | New VersionWhere stories live. Discover now