Lima Puluh Dua

111 9 5
                                    

Happy Reading!

“Tan, make upnya natural tapi kelihatan fresh gitu ya, tipis aja pokoknya,” kata Jingga saat Kia—menaruh peralatan make upnya di ruang tamu.

Kali ini rumah keluarga Ananta kedatangan sahabat Jingga—dengan maksud meminta bantuan wantia setengah baya itu untuk merias wajah Jingga dan sahabatnya. Kia senang saja, dan kebetulan pekerjaannya di rumah sakit sudah selesai.

“Iya, tenang aja. Lagian masih SMA, terus kan ini mau foto buat buku tahunan, jadi natural aja,” tutur wanita setengah baya itu lembut. “Jadi siapa yang mau duluan?”

“Aku akhir aja, Tan. Soalnya aku kan gampang keringetan, rasa-rasanya pengin ngelap muka tapi takutnya ntar make upnya luntur atau rusak.” Gadis Naira itu duduk di ujung sofa sambal tercengir. Mendengar tutur kata dari anak tetangganya itu mau tak mau Kia tertawa pelan.

“Aku dulu aja nggak apa-apa, Tante,” ucap Aura canggung, pasalnya baru pertama kali ia bertemu dengan ibu Lingga yang terlihat cantik dan awet muda. Dari tadi Aura sampai terheran-heran menatap wajah cantik wanita setengah baya itu.

“Ayo, sini.”

Aura mendekat pada Kia untuk dirias terlebih dahulu. Sementara yang lain menunggu giliran sambil berbincang-bincang dengan Kia. Hawa canggung yang tadinya menyelimuti mereka karena tidak terbiasa kini memudar, ternyata wanita setengah baya itu sangat santai dan berkata banyak hal.

“Besok UN terakhir berarti ya.”

“Iya Tante, mana Matematika lagi,” balas Aura.

“Kenapa kalau Matematika? Susah emang?” Wanita setengah baya itu tengah memoleskan blush on pada pipi kanan Aura.

“Wah, nggak usah ditanya lagi Tan,” sambung Muti.

“Kita nggak kayak anak Tante, Lingga, yang pinter Matematika.”

Aura memutar bola matanya. “Duh, lo masih mending kali Jen. Di antara kita lo yang bisa.”

Nggak apa-apa, tiap orang kan punya keahlian di bidang yang beda,” tukas Kia lembut.

“Oh ya, Jingga ... di dapur ada kue bolu ketan hitam, kamu ambil bawa sini gih sama minum sekalian, buat temen-temennya,” pinta wanita itu sambil menatap Jingga sebentar.

“Oke, Tan. Aku ke belakang bentar.” Gadis itu beranjak dari sofa dan menuju dapur.

“Jingga tuh akrab banget ya Tan, kayak rumah sendiri.” Jeni menatap kepergian sahabatnya yang telah menghilang di balik pintu.

“Karena udah tetanggaan dari lama, terus kan Lingga sama Jingga sering main bareng. Ngelihat Jingga keluar masuk rumah ini atau ngelihat Lingga keluar masuk rumah Jingga itu udah biasa. Mereka deket banget, sampai nggak bisa dipisahin,” jalasnya. “Tente sendiri udah nganggap Jingga sebagai anak.”

“Anak mantu Tan?” ceplos Aika. Kia tertawa kecil. “Hahaha kalau itu sih terserah mereka.”

Diiringi obrolan-obrolan ringan bersama kue bolu buatan Kia, kini mereka hampir selesai. Jingga yang notabennya dirias paling akhir masih duduk—dengan Kia yang sedang memakaikan eyeliner, rambutnya belum ditata. Tanpa waktu yang lama, Kia selesai merias wajah Jingga. Kini wanita setengah baya itu berpikir akan dimodel bagaimana rambut gadis di hadapannya ini. “Aku rambutnya biar terurai aja, Tante. Lagian udah mau telat,” ucap Jingga saat melihat kebingungan mama dari sahabatnya itu.

“Seriusan?” tanyanya dan dijawab anggukan oleh gadis itu. “Oke, kalau gitu agak Tante buat bergelombang.” Sekali lagi Jingga menatap pantulannya pada standing mirror. Gadis itu terheran-heran, penampilannya beda dari biasanya.

Kombinasi | New VersionWhere stories live. Discover now