Dua Puluh Enam

163 15 2
                                    

Happy Reading!

“Plato itu tokoh pemikir ekonomi masa Yunani kuno. Dia itu bangsawan yang masih punya kekerabatan sama kalangan keluarga Athena. Kalau nggak salah, seingat gue dia lahir pas awal perang pelopannesos.”

Siang itu setelah melakukan salat, kedua pemuda dari kalangan IPS dan Bahasa sedang membicarakan pemikiran ekononi masa pra klasik. Masih di depan musala SMA Panorama, sambil menahan rasa panas keduanya masih betah berbincang.

“Oh, dia tuh yang dulunya kenalan sama filosof Socrates bukan, sih? Yang dulunya jadi guru merangkap jadi sahabat yang dia cintai bahkan dia hormati.” Pemuda dari kelas Bahasa—yang tak lain adalah Alan itu menyahut.

“Yoi. Socrates tuh orang paling bijak, jujur, terbaik dari semua manusia yang pernah Plato kenal. Tapi pas tahun 399M kayaknya, si Socrates diseret ke pengadilan dengan tuduhan udah merusak akhlak. Satu lagi, katanya ngelakuin hal yang nggak sesuai aturan sama angkatan muda Athena. Di situ, Socrates dapat hukuman mati. Sampai akhirnya, Plato benci sama pemerintahan demokratis, setelah Socrates mati dia ninggalin Athena selama dua belas tahun.”

“Gue nggak ingat tahunnya, yang jelas Plato balik lagi ke Athena. Dia bikin sekolah sekaligus ngajar, nggak cuma itu, dia juga nulis ilmu filsafat. Nah, salah satu muridnya yang terkenal itu Aristoteles. Lo pasti tahu. Ia pemimpin Yunani kuno. Masa kejayaannya ia memiliki karya yang judulnya Republic, mempunyai pemikiran tentang filsafat murni yang dipengaruhi oleh Phytagoras, Heraklitus, Parmenides dan Socrates. Tapi gue lupa sih, garis besar dari bagian Republic itu apa aja,” jelas Raja.

“Ada tiga, gue nggak hafal juga sih isinya apa aja.” Pemuda dari kelas Bahasa—Alan menyisir rambutnya dengan jari. Kemudian, kembali berucap, “Yang gue ingat tuh di bagian karya Plato terkait pembentukan negara yang ideal telah dijelaskan tujuannya untuk mendefinisikan keadilan pada negara Utopia. Meski Republic terbaca luas secara berabad-abad, sisitem politik yang dianjurkan di dalamnya belum pernah dipraktekkan sebagai model negara mana pun. Pandangan Plato mengenai sebuah negara nggak beda sama Socrates, di mana negara yang baik itu negara yang berpengetahuan. Dan negara itu dipimpin oleh orang bijak, the philosopher king. Dulu semasa Pluto, negara-negara Eropa menganut sistem kerajaan atau militer.”

“Bentar, ciri negara bijak zaman dulu tuh gimana?” tanya Raja.

“Cirinya negara itu dipimpin oleh rezim aristokrat. Maksudnya tuh pemerintah yang digerakkan oleh putra terbaik dan terbijak dalam negeri itu,” terang Alan. Pemuda itu memejamkan mata sejenak, bergumam pelan. “Anjir, si Lingga lama amat, ngapain aja sih di dalam?”

“Zikir dulu kali.”

“Alan, lo kok belum masuk? Bukannya udah bel masuk, ya? Abis ini Bu Endang, kalau telat diomelin.” Si gadis dari kelas Bahasa—Jingga, menalikan sepatu kirinya. Gadis itu sekilas mendengar kawannya sekelas dan sahabat teman sekelasnya itu membicarakan negara atau apalah di siang hari yang terik. Duh, kalau Jingga sih mending pergi ke kantin membeli es teh, daripada ngomongin pemerintahan masa Plato maupun rezim aristokrat. Yang ada otak Jingga sudah lemot duluan.

Pemuda Alkamaza mencibir, “Dih, perhatian amat sama Alan.”

“Ya kan teman sekelas?”

“Lo sendiri kenapa nggak masuk?” tanya Alan yang dari tadi belum angkat suara sejak kedatangan Jingga.

“Abis salat, ini nunggu Aura. Anaknya masih lipat mukena. Aura kan kalau salat ngajak pas akhir, soalnya kalau abis azan ke sini pasti ramai,” jelasnya detail meski tak ada yang meminta.

“Kita juga nunggu Lingga. Dari tadi belum selesai anaknya. Nggak tahu tuh, di dalam ngapain aja.” Alan menatap gadis itu. “Eh, ada PR nggak sih?’ Pemuda itu takut jika lupa ada PR dan ia belum mengerjakan. Bisa habis kena marah Bu Endang selama satu jam pelajaran nanti.

Kombinasi | New VersionWhere stories live. Discover now