Dua Puluh Delapan

168 18 1
                                    

Happy Reading!

“Pernah dengar you are what you read nggak?”

Kalimat yang keluar dari seorang pemuda membuat gadis itu tersentak. Gadis itu menatap ke depan, bertepatan saat sang pemuda duduk di hadapannya. Perpustakaan dijam belajar seperti ini sepi. Ya iyalah, murid-murid pasti belajar di kelas, meski ada satu atau dua yang membolos. Dan untuk si gadis dan pemuda ini, mereka tak membolos, hanya saja kelas mereka tidak ada yang mengajar—alias jam kosong. Entahlah, akhir-akhir ini di kelas mereka sering ada jam kosong. Berakhirlah mereka di sini, perpustakaan. Mereka tak janjian, si gadis sampai terlebih dahulu dan hanyut pada bacaannya. Sedangkan si pemuda datang beberapa menit setelahnya.

“Gimana? Lo ngomong sama gue?” tanya sang gadis dengan bingung.

“Iyalah. Siapa lagi emang?”

“Ya kali aja lo anak indofood,” jawabnya pelan dan asal, kemudian ia melanjutkan bacaannya yang tertunda.

“Indofood?” Pemuda itu mengernyit, setelah paham maksud gadis itu ia terkekeh. “Lo belum jawab pertanyaan gue, ngomong-ngomong.”

Gadis itu menghela napas, mengembuskan pelan. Ia memberi tanda pada buku bacaannya dengan post it hijau muda yang ia bawa. “You are what you read, kayak ... apa yang kita baca, itu mempengaruhi diri kita. Gitu kan, intinya?”

Yoi. Katanya, sebagai pembaca, kita cenderung mengadopsi pikiran, perasaan, keyakinan, dan respons internal dari tokoh fiksi dalam buku yang kita baca.” Pemuda itu, Alan, berkata begitu serius.

 “Makanya kita kudu pintar pilih-pilih bacaan, iya nggak sih?” sahut si gadis yang tak lain adalah Jingga.

 “Dari Journal of Personality and Social Psychology dituliskan kalau kita terhanyut saat membaca sebuah cerita, yang pada akhirnya bakal ngerubah perilaku dan pikiran kita untuk menyamai karakter tokoh fiksi itu. Lo benar, harus pintar pilih bacaan.” Sambung Alan.

 “Gue juga kalau baca lihat-lihat dulu sih, dari judul terus isinya gimana. Judul menarik belum tentu isinya bagus, ini pendapat dari gue ya. Kalau lagi baca gitu, misal baru selembar atau dua lembar gue ngerasa nggak cocok, pasti nggak jadi gue baca. Terus kalau kata orang-orang misal buku yang judulnya B ceritanya bagus, bikin nangis dan lain sebagainya, gue langsung cari tahu tuh, gue baca tapi biasa aja. Kayak nggak ngaruh aja, padahal kata orang ceritanya bikin nangis atau baper.” Jingga mengetuk-ngetukkan jemarinya pada meja pelan. “Mungkin pasaran bukunya bukan di gue. Atau ceritanya nggak mempan di gue. Duh gimana, ya? Ribet banget jelasinnya.”

 “Paham kok,” sahut Alan buru-buru, pemuda itu mengangguk kecil. “Ngelihat pengaruh buku yang begitu besar, kita emang harus hati-hati. Kalau mau baca atau beli, kita nggak bisa kalau cuma lihat best seller atau yang ada embel-embel udah pernah dibaca lima belas milyar pembaca, melainkan beli atau baca yang punya nilai dan bermoral.” Benar apa yang dikatakan Alan. Buku yang salah bisa menanamkan pandangan yang sesat atau salah kaprah.

Jingga tersenyum tipis. “Tumben Alan dalam mode kayak gini.”

Pemuda bermata sipit itu mencibir. “Lo nya aja yang nggak pernah main sama gue, mana lo bisa tahu gue aslinya gimana.”

 “Iya ... iya,” balas gadis itu masih tersenyum. “Ngomong-ngomong lo abis ngapain di sini?”

“Ya kalau di perpus ngapain?” tanya pemuda itu balik.

Jingga menyipitkan matanya. “Kalau orang kayak lo sih, numpang wifi mungkin?”

“Dih, gue abis kembaliin buku paket Antropologi, ya!” ujarnya tak terima.

Kombinasi | New VersionOnde histórias criam vida. Descubra agora