Dua Puluh Tujuh

159 18 3
                                    

Happy Reading!

Sekarang sudah memasuki bulan desember. Ya, lebih tepatnya tanggal satu desember. Waktu berjalan dengan cepat. Kalau kata Dwight D. Eisenhower quotes untuk bulan desember ini adalah 'kepemimpinan adalah seni membuat orang lain mengerjakan sesuatu yang anda inginkan karena ia ingin mengerjakannya'. Oke, lupakan soal quotes. Mari, kita bahas Jingga dan teman-temannya saja.

Masih ada beberapa menit di istirahat pertama. Selesai makan bekal yang dibawa dari rumah, ketiga remaja dari kelas 12 Bahasa itu pergi ke perpustakaan atas, yang letaknya di samping kelas 10 Bahasa. Sebenarnya bukan ketiga remaja itu yang pergi ke perpustakaan, melainkan satu orang, dua di antaranya hanya mengantar.

Jeni-gadis itu minta ditemani untuk mengembalikan buku yang tebalnya minta ampun. Jingga sendiri tak tahu itu buku apa, lebih tepatnya tak mau tahu.

"Gila, kayak gini aja udah capek. Kalau kelas kita di lantai atas, tiap hari naik turun tangga, lemak gue bakal turun nih nggak perlu olahraga." Keluhan Aura saat mereka menaiki tangga membuat Jeni mendengus. Memang pada dasarnya Aura itu sedikit drama, apa-apa dilebih-lebihkan.

"Lemak turun, nggak perlu olahraga, tapi porsi makan lo banyak. Di tambah jajanan lo biasanya gorengan. Sama aja bohong, anjir." Gadis berpipi bulat-Jeni kini mencibir. Namun apa yang dikatakan gadis itu benar. Soal makanan, Aura tidak pilih-pilih, apalagi kalau gratis. Jika tak membawa bekal, Aura sudah dipastikan akan membeli soto ayam ceker dan dua atau tiga buah gorengan. Dan pada dasarnya, Aura itu gampang lapar, jadi ya begitu.

"Gue pengin diet, malu banget kalau gendut gini. Mana gue dikatain mulu sama anak kelas. Oh, anak IPS juga, kemarin pas lintas minat gue dikatain."

"Lo ngomong doang berkali-kali tapi nggak ada pergerakan, Ra." Jeni membalas dengan tepat sasaran.

"Mana anak kelas kita cantik-cantik lagi. Asli, minder gue kalau dekat-dekat. Apalagi sama Daniela, beuh."

Aura masih saja mengeluh, sesekali ditimpali oleh Jeni. Jingga yang berjalan di belakang mereka berdua hanya diam dan mendengarkan-tak berniat untuk membuka suara.

"Kalau itu sih, selain lo harus diet, lo juga pakai skincare rutin, Ra. Ya ... kalau tujuan pakai skincare mau putih sih susah, kalau pigmen warna kulit kita udah cokelat atau kuning langsat mau diubah gimana pun, mau pakai apa pun ya tetap gini. Pakai skincare mah buat ngerawat kulit atau setidaknya biar enak dipandang."

"Daripada beli skincare gue mending beli gorengan," jawab Aura. "Duit gue langsung abis kalau nurutin beli skincare."

"Ya terus mau lo apa, anjeeeng!" kesal Jeni pada Aura. Gimana tak kesal, kalau diberi saran panjang lebar ujung-ujungnya tak didengarkan.

"Emang standar cantik versi lo gimana, Ra? Lo pengin gimana sih?" Jingga yang tadinya diam, kini memilih menimbrung Aura dan Jeni.

Aura mengerucutkan bibirnya. "Yang nggak gendut, putih atau setidaknya enak dipandang, agak tinggi dikit. Soalnya itu semua nggak ada di diri gue, dan gue pengin kayak gitu."

Dengan cepat Jeni menyahut, "Cantik kayak Barbie. Tinggi, langsing dan menawan. Serba good looking."

Entah sudah berapa lama budaya mendikte standar kecantikan. Mengapa budaya itu tak dihilangkan saja? Biar orang-orang tak mengeluh karena kurang sempurna. Dari yang kurang putih, rambut kurang tebal, gemuk, kurang cantik dan lain sebagainya. Melissa McCarthy pernah berkata bahwa, saat ini epidemi di mana para perempuan merasa buruk karena membandingkan diri dengan penampilan nol koma lima persen manusia di dunia. Bayangkan saja. Kecantikan banyak didefinisikan seperti penampilan segelintir orang. Misalnya, seperti aktris, model, maupun idol Kpop.

Kombinasi | New VersionWhere stories live. Discover now