Dua Puluh Dua

148 29 0
                                    

Happy Reading!

Acara kumpul-kumpul sudah menjadi hal wajib di antara mereka berempat. Setelah dua bulan lamanya, mereka tidak melakukan kegiatan ini di waktu malam. Bisa dibilang mereka sibuk sendiri-sendiri atau memang sok sibuk. Senja, Raja, Alan dan Lingga kali ini sepakat untuk berkumpul di rumah Senja, dan rencananya mereka akan bermalam. Sebab, besok adalah hari sabtu. Seperti saat ini, televisi dibiarkan menyala, keempat remaja itu duduk di sofa panjang yang ada di kamar Senja, dengan beberapa makanan dan camilan berada di atas meja.

Kamar Senja yang didominasi warna abu-abu dan warna putih untuk furniture itu cukup luas, bahkan setiap sudut tertata rapi. Di sebelah kanan, terdapat meja belajar dan rak buku, di atas meja belajar tertempel hijang pada dinding. Hijang tersebut berisi tiga foto polaroid, post it yang isinya jadwal pelajaran dan kertas-kertas aestetic. Meja komputer ada di tempat tersendiri, bersama perangkat keras lain, dan kamera yang tersimpan di sana. Pada tembok bagian kanan juga, ada sebuah foto polaroid yang digantung pada lampu tumbrl berwarna oranye. Foto-foto itu berisi fotonya sendiri, ketiga sahabatnya, foto sekelas, dan foto dengan kedua orang tuanya.

Kini, keempat remaja itu sedang menyantap tumis udang dan nasi hasil karya Senja beberapa jam yang lalu. Di antara mereka berempat, hanya Senja yang benar-benar bisa memasak.

"Masakan lo nggak pernah ngecewain. Kalau lulus, lo buka catering aja udah cocok." Pemuda Alkamaza itu berkata pada Senja. "Nanti gue bakal jadi pelanggan setia, asal dapat diskon."

Senja memutar bola matanya. Pemuda itu memcibir, "Ogah, baru seminggu buka udah bangkrut kalau gitu."

Tumis udang di piring itu sudah habis, pun nasinya juga sama. Maklum saja, empat pemuda itu memiliki perut goni semua.

"Kalau nggak ikut Master Chef aja," timpal Alan sambil mengunyah.

"Skill gue belum layak kalau mau ikut Master Chef. Baru ikut satu atau dua episode langsung keeliminasi."

"Tapi masakan lo buat ukuran cowok udah termasuk enak." Lingga meraih kaleng soda, dan meneguk isinya. "Daripada gue, cuma bisa masak telur mata sapi."

Mulut Raja tidak tahan jika tidak berjulid. Pemuda itu menatap Lingga-dengan wajah julidnya. "Lah? Lo bikin telur mata sapi aja zonk, anjir. Ya kali, masak telur yang dimasukin telurnya dulu. Nggak tahu deh, itu sekte mana. Seharusnya kalau mau goreng apa pun minyak duluan. Mana apinya nggak dikecilin, auto gosong lah."

"Mending gosong, sih. Daripada dapurnya yang kebakar." Melihat Raja yang memancing berjulid, Alan tak tahan untuk diam saja. "Lingga kalau masak suka nggak ngotak."

"Ibarat angka, urusan dapur Lingga nol, Senja satu. Nggak kebayang nanti yang jadi istrinya Senja. Pagi-pagi bikin sarapan di dapur bareng. Terus ngeteh sambil makan toast atau cookies pagi-pagi di halaman belakang sambil liat matahari. Atau ... misal kalau entar pas istrinya sakit, Senja yang masakin. Beuh, bahagia banget, anjir. Bayangin, uwu sendiri gue."

"Hahaha apaan, Njing! I often cook for my family, kalau orang tua gue sibuk gue yang masak. Kalau Mama libur, gue biasa bantuin di dapur." Pemuda itu menjelaskan bagaimana bisa masakannya enak-untuk ukuran laki-laki. Lantas, Senja terkekeh, saat teringat ucapan Raja menyangkut dirinya dan masa depannya. Bayangan Raja terhadap dirinya bersama masa depan terlalu jauh jika dipikir sekarang, menurutnya. Sebab, untuk saat ini pemuda Aradhana itu ingin lebih fokus terhadap study dan karirnya nanti. Ia ingin eksplor lebih jauh lagi-menambah pengalaman dan menikmati masa muda.

Alan melempar permen yupi yang masih utuh ke arah Raja. "Woi, anj-astaghfirullah, Anjing!"

"Sekte mana lagi, mau berbuat dosa nyebut dulu," gumam Alan melihat kelakuan sahabatnya yang semakin hari tambah miris.

Kombinasi | New VersionWhere stories live. Discover now